Selama 40 tahun Peter Carey melakukan studi tentang sejarah Jawa (periode: 1825-1830), termasuk meneliti kehidupan Pangeran Diponegoro. Benar-benar sebuah totalitas dalam penelitian.
Sarjana Trinity College, Universitas Oxford, Inggris dan master (PhD) Cornell University, AS, itu membagikan pengalamannya pada acara bertajuk Ngobrol Proses Kreatif.
Sebuah webinar dwi-mingguan yang diselenggarakan oleh Kelompok Penulis Penerbit Buku Kompas (KP-PBK), dipandu oleh A. Bobby Pr dan Amanda Setiorini, dan dibuka oleh Mas Tra (Tri Agung Kristanto/Redaktur Senior Kompas).
Acara ke-lima belas itu berlangsung melalui Zoom pada tanggal 29 April 2021 pukul 14.00-16.00 WIB, sehari sebelum sejarawan berkebangsaan Inggris itu berulang tahun.
Baca juga: Menulis Jangan Egois, Gunakan Artikulasi Sederhana dan Mudah Dimengerti
Profesor Carey menyampaikan paparan dalam Bahasa Indonesia dengan artikulasi sangat jelas. Selain itu, beliau juga menguasai bahasa Jawa.
Menurutnya, meneliti sejarah suatu bangsa adalah mustahil tanpa mempelajari bahasa dan kehidupan sosio-kulturnya. Tidak bisa begitu saja melakukan studi pustaka saja tanpa kerja lapangan.
Memang kerja lapangan tiada tandingan dibanding penelitian pustaka (Peter Carey)
Oleh sebab hendak melakukan penelitian lapangan itulah, pada tahun 1970 Peter Carey berangkat ke Indonesia. Perjalanan itu nyaris menamatkan riwayatnya, karena setibanya di Teluk Betung usus buntunya pecah, tetapi hal itu tidak menyurutkan tekadnya. Setelah sembuh, ia melanjutkan petualangannya.
Penulis buku best seller (Takdir, Inggris di Jawa, dan Urip Iku Urub) itu tertarik meneliti Diponegoro, karena sebuah sketsa karya Francois de Stuers (dalam buku H.J. de Graaf tentang Perang Jawa). Sejenak (at glance) ada semacam kontak batin (krentek) dengan gambar. Sesuatu yang misterius, mistikal, membuatnya tiba-tiba tertarik pada sosok bangsawan Jawa itu.
Di sepanjang penelitiannya, Carey melihat Diponegoro sebagai tokoh yang memiliki hati nurani, polos tanpa pendidikan gaya barat, mampu melihat makna dari sebuah situasi, dan memiliki persentuhan dengan alam. Kekuatan itulah yang membuat Carey semakin "akrab" dengan sosok Pangeran Diponegoro.
Dengan kata lain, hal itu disebut sebagai kearifan lokal yang tidak diajarkan oleh sistem pendidikan Barat. Dengan studinya, Carey berkehendak melawan keangkuhan barat dengan menggali kearifan lokal.
Peter Carey menjaga kebugaran dan semangat menulis dengan bangun pukul setengah lima pagi, bermeditasi satu jam, berolahraga ringan, dan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan menulis.