Sebuah percakapan sebelum forbes-forbesan menjadi bahan bakar overthinking:
"Kalau butuh pekerjaan, ngecat jalan saja! Dibayar atau tidak, adalah persoalan lain," demikian yang diucapkan seorang kerabat.
Direktur operasi anak perusahaan milik keluarga Cendana itu menjadi harapan bagi saya, sebagai koneksi mendapatkan pekerjaan. Setelah lulus sekolah, sekian bulan menganggur adalah beban pikiran. Bahasa anak sekarang: overthinking.
Ia menjadi tokoh sukses di dalam perbincangan keluarga. Bayangkan, ia memiliki segalanya: rumah besar ber-halaman luas di Kebayoran Lama, Jakarta; 4 mobil sedan keluaran terbaru; dan atribut lain yang melekat pada dirinya sebagai orang makmur.
Baiklah. Itu mungkin bukan perbandingan yang on-par. Ia jauh lebih dewasa.
Sebagian teman-teman seangkatan sudah bekerja di perusahaan penanaman modal asing dengan standar gaji tinggi dan fasilitas kendaraan. Sebagian lagi bekerja di perusahaan pelayaran, perbankan, dan lain-lain.
Setelah saya berhasil memperoleh pekerjaan, timbul "kecemburuan" kepada teman lain: mengapa mereka lebih "beruntung" dalam segala hal, mengapa saya begini-begini saja?
Pada saat kondisi "beruntung," saya memandang iri kepada teman yang berpenghasilan jauh lebih bagus, mobil lebih mewah, rumah lebih mentereng.
Ketika mencapai usia matang, saya pun melihat teman-teman seangkatan jauh lebih berhasil dibanding saya. Beberapa menjadi Duta Besar, ada yang berumah di Menteng (kawasan pemukiman kelas atas di Jakarta), ada yang mobilnya berharga miliaran.
Saat-saat seperti itu membuat saya merasa sia-sia, insecure, tidak berprestasi, dan mengalami kegagalan (kegagalan yang sukses, menurut nalar anak sekarang). Saya terlalu melihat ke atas, tanpa mengutamakan tugas sekarang.
Rumput Tetangga Lebih Hijau