Seorang pedagang kopi dan jajanan mesti mengalah, keluar dari tempatnya berjualan dan merelakan kiosnya dipakai berdagang oleh pihak lain. Ia memang tersingkir, tetapi hal itu tidak lantas membuatnya tersungkur.
Demi membantu pendapatan keluarga, seorang istri marbot memanfaatkan kios yang terletak di dalam halaman sebuah tempat ibadah untuk berjualan. Penggunaan lahan tersebut atas pengetahuan Pengelola Masjid, tentunya dengan membayar sejumlah nilai disepakati.
Dengan pengalaman sebelumnya sebagai penjual nasi beserta lauk pauk, Bu Marbot berhasil mengelola kios sedemikian rupa, sehingga kian hari kian ramai.Â
Barang dagangannya sederhana, namun mampu mengakomodasi selera pembeli di sekitar masjid, yang merupakan permukiman dan perkantoran.
Ia menyediakan gado-gado, lontong sayur, nasi uduk, aneka gorengan, dan kopi seduh melayani pegawai perkantoran dan warga sekitar. Kios buka nyaris setiap hari, dimulai sejak pagi setelah subuh sampai sore. Pada akhir pekan para pesepeda dan pelintas mampir menikmati jajanan.
Dengan sajian yang akrab di di lidah orang kebanyakan, selama setahun Bu Marbot telah berhasil menggaet pelanggan setia. Gerai tersebut juga menjadi tempat asyik bagi para salesmen.
Di dalam kompleks tempat ibadah tersebut juga terdapat sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-kanak (TK) yang dikelola oleh sebuah yayasan pendidikan. Setahun masa pandemi membuat sekolah itu sepi dari hingar-bingar anak-anak, diganti pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Apakah hal itu berpengaruh kepada pendapatan para tenaga pendidik dan yayasan pengelola? Belum ada penjelasan. Yang pasti, baru-baru ini pihak yayasan pendidikan berkepentingan untuk memperoleh penghasilan tambahan. Gagasan logisnya adalah berjualan
Satu-satunya tempat representatif untuk berdagang adalah kios yang saat itu ditempati Bu Marbot. Mendadak, dengan segala cara dan kekuasaan, yayasan pendidikan itu menyingkirkan dagangan Bu Marbot.
Lalu yayasan memanfaatkan kios sebagai tempat penjualan daring. Dalam perjalanannya, ia akhirnya melayani juga penjualan kopi seduh. Namun demikian, makanan populer sebagaimana biasanya tidak disediakan lagi.
Pada perkembangan berikutnya, yayasan menggandeng seorang pedagang yang kemudian berjualan soto. Bagaimana sistem pembagiannya, tidak diketahui.
Pilihan jenis masakan berkuah itu cukup beragam: soto plus tauco (Tauto), soto santan, dan soto kari. Pilihan isinya berupa ayam, daging sapi, dan babat.
Dalam praktiknya, gerobak alumunium yang bagus itu tidak berhasil mengangkat penjualan. Ia tidak berhasil merangkul eks-pelanggan Bu Marbot.Â
Penjual soto itu laris hanya pada hari Jum'at, di mana pembelinya adalah mereka yang usai melaksanakan ibadah Jum'at, yang notabene bukan warga sekitar.
Sepintas faktor yang berpengaruh terhadap merosotnya minat pembeli adalah:
- Harga jual ditawarkan berada di atas gado-gado atau lontong sayur.
- Rasa makanan tidak familier di kepala dan lidah calon pembeli di sekitar.
- Penampilan gerobak yang megah mengesankan harga barang dagangan yang mahal dan dianggap konsumsi bagi kalangan atas. Padahal harga rata-rata ditawarkan cukup masuk akal, yakni Rp 17 ribu semangkuk tidak termasuk nasi.
- Kios dan gerobak soto baru buka jam 8 pagi, di mana umumnya pegawai dan warga telah berkegiatan atau sudah sarapan. Hanya calon pembeli makan siang dan sore yang masih bisa ditangkap.
Bagaimana nasib dagangan Bu Marbot?
Ibu berusia setengah abad, yang pada dasarnya memiliki ketajaman berdagang berdasarkan pengalaman berjualan makanan, sekian waktu kemudian membuka lapak tak jauh dari tempat semula. Bergeser ke lapangan parkir di bawah pohon rindang beratapkan langit dengan meja sederhana.
Barang dagangannya sama seperti sebelumnya, yaitu: gado-gado, lontong sayur, nasi uduk, dan aneka gorengan, tanpa kopi seduh. Hal yang menguntungkan adalah, lokasinya lebih kelihatan daripada sebelumnya.
Tidak butuh lama, lapak sederhana itu laris manis. Belakangan, tidak sampai setengah hari barang dagangannya sudah habis.
Dari tuturan di atas, diperoleh gambaran bahwa sebuah usaha tidak bisa begitu saja disingkirkan demi memperoleh keuntungan yang sama.
Belum tentu hal itu akan membuatnya terpuruk. Fakta menunjukkan, usaha Bu Marbot yang tersingkir dari tempatnya, tidak membuatnya tersungkur. Malahan lebih berkembang daripada sebelumnya.
Dalam keadaan itu, seharusnya pihak yayasan menggandeng Bu Marbot yang telah berpengalaman melayani selera warga sekitar, dengan skema berbagi keuntungan yang bisa disepakati dengan terbuka, daripada penjual soto yang bertahan pada kredonya sendiri.Â
Ada tata krama dalam berusaha yang seharusnya ditaati.
Dengan kata lain, di dalam bisnis terdapat keadaban yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Tidak ada salahnya, bila penjual mengikuti aturan tidak tertulis itu agar kegiatan usaha, terutama bisnis kuliner, bisa berjaya dan langgeng.
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H