Bukan dari Penang atau Singapura, tetapi laksa Bogor yang saya jumpai lagi secara tidak sengaja. Tidak seperti mi ayam dan bakso, jajanan laksa terhitung langka, setidaknya bagi saya yang tidak melihatnya di jalanan dalam waktu lama sekali.
Saya baru melihatnya kembali di sebuah gerai tepi jalan, saat bertualang dengan berjalan kaki pada Sabtu pagi.
"Belum siap. Sejam lagi baru beres," ujar Mang Penjual Laksa.
Berhubung penasaran ingin mengecap jajanan itu, maka saya manut saja: menunggu satu jam.
Menurut penuturan Mang Penjual, gerai tersebut beroperasi sejak sebulan lalu.
Memang jalan tersebut bukan rute yang biasa saya lewati, sehingga wajar bila baru mengetahuinya.
Zaman dulu, pedagang laksa ngider di permukiman-permukiman. Samar-samar saya mengingatnya sebagai jajanan keliling bercita-rasa enak.
Berbeda dengan jajanan tradisional lainnya yang masih mudah dijumpai, laksa Bogor sangat jarang terlihat. Atau jangan-jangan ia sudah tergeser oleh makanan kekinian sehingga eksistensinya tergusur?
Sejauh pengamatan, keberadaan laksa di kota Bogor tidak mudah diidentifikasi, selain di mal tertentu. Oleh karena itu, saya menggolongkannya ke dalam jenis jajanan langka. Barangkali juga di sekitar Cibinong masih ada.
Berbeda dengan ujaran, "ingat rasanya, lupa rupanya," saya sudah lupa tentang rasa maupun wujud laksa.
Pada waktu lampau, saya menjajal laksa di sebuah hajatan, namun hasilnya mengecewakan. Kuahnya merupakan kolak terlalu banyak gula dan kelewat gurih akibat kebanyakan micin. Terbang sudah sang selera.
Setelah sekian tahun, pada Sabtu kemarin, tidak sengaja saya melihat penjual laksa saat berolahraga jalan kaki. Demi menebus penasaran akan rasa terlupakan, saya rela menunggu gerai sampai siap melayani penjualan.
Setelah rapi, Mang Penjual meracik laksa: mengisi mangkuk dengan potongan ketupat, oncom, bihun rebus, taoge (kecambah) mentah, dan daun kemangi.
Setelah itu barulah mangkuk kembali diisi dengan kuah dan ditambahkan sepotong tahu. Tambahan telur rebus adalah opsional. Maka semangkuk laksa sudah siap disantap.
Proses pencelupan singkat, membuat tauge masih berasa "krenyes" ketika dikunyah. Oncom yang rasanya tawar menjadi enak ketika diseruput bersama kuah. Daun kemangi yang sudah layu menebarkan aroma merangsang bersama uap mengepul.
Secara keseluruhan, orkestrasi kuah santan kuning ringan, oncom, bihun, tauge, tahu, kemangi, ditambah sedikit sambal merupakan sajian unik yang membangkitkan selera.
Dalam sekejap mangkuk licin tandas. Enak. Mungkin para pelanggan sepikiran dengan saya.
Selama tiga puluh menit, Mang Penjual telah membungkus 20-25 porsi laksa yang dipesan orang untuk dibawa pulang.
Harganya? Rp 10 ribu semangkuk. Menjadi Rp 13 ribu, jika ditambah telur.
Sebagai makanan penutup, saya menyantap satu tusuk cungkring yang empuk. Sate cungkring terdiri dari beberapa kerat kulit kaki sapi matang berbumbu kacang khas yang ditusuk dengan lidi, tetapi tidak dipanggang sebagaimana sate biasa.
Boleh jadi ia merupakan momentum menuntaskan keinginan terpendam terhadap makanan enak sebelum puasa sebentar lagi.
Selamat Menjalankan Ibadah Shaum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H