Setelah sekian tahun, pada Sabtu kemarin, tidak sengaja saya melihat penjual laksa saat berolahraga jalan kaki. Demi menebus penasaran akan rasa terlupakan, saya rela menunggu gerai sampai siap melayani penjualan.
Setelah rapi, Mang Penjual meracik laksa: mengisi mangkuk dengan potongan ketupat, oncom, bihun rebus, taoge (kecambah) mentah, dan daun kemangi.
Setelah itu barulah mangkuk kembali diisi dengan kuah dan ditambahkan sepotong tahu. Tambahan telur rebus adalah opsional. Maka semangkuk laksa sudah siap disantap.
Proses pencelupan singkat, membuat tauge masih berasa "krenyes" ketika dikunyah. Oncom yang rasanya tawar menjadi enak ketika diseruput bersama kuah. Daun kemangi yang sudah layu menebarkan aroma merangsang bersama uap mengepul.
Secara keseluruhan, orkestrasi kuah santan kuning ringan, oncom, bihun, tauge, tahu, kemangi, ditambah sedikit sambal merupakan sajian unik yang membangkitkan selera.
Dalam sekejap mangkuk licin tandas. Enak. Mungkin para pelanggan sepikiran dengan saya.
Selama tiga puluh menit, Mang Penjual telah membungkus 20-25 porsi laksa yang dipesan orang untuk dibawa pulang.
Harganya? Rp 10 ribu semangkuk. Menjadi Rp 13 ribu, jika ditambah telur.
Sebagai makanan penutup, saya menyantap satu tusuk cungkring yang empuk. Sate cungkring terdiri dari beberapa kerat kulit kaki sapi matang berbumbu kacang khas yang ditusuk dengan lidi, tetapi tidak dipanggang sebagaimana sate biasa.