Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kisah Pemburu Rente di Balik Impor Beras

23 Maret 2021   12:08 Diperbarui: 23 Maret 2021   12:14 713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir saat meninjau Gudang Perum Bulog di Jakarta, Rabu (4/3/2020).(Kompas.com/AKHDI MARTIN PRATAMA)

Berbagai pihak menolak keputusan Pemerintah untuk mengimpor beras sebanyak satu juta ton menjelang periode panen raya.

Pembelian beras dari Thailand tersebut disinyalir akan merusak harga pasaran gabah lokal. Presiden Joko Widodo mengemukakan, bahwa impor beras sangat menyengsarakan petani, sebagaimana yang dilontarkannya di dalam janji kampanye pada saat Pilpres

Sedangkan penanggungjawab kebijakan industri pertanian (d.h.i: budidaya padi penghasil gabah/beras) menyerah kalah. Di hadapan anggota Komisi IV DPR RI, pada Kamis (18/3/2021), Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menyampaikan permohonan maaf, karena tidak bisa menolak kebijakan impor beras pada tahun 2021 ini.

Sebaliknya, secara terbuka beberapa kepala daerah menyampaikan keberatannya, antara lain:

  1. Bupati Blora, Arief Rohman yang menyatakan, lebih baik pemerintah pusat mengutamakan penyerapan gabah lokal.
  2. Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyoroti alasan yang dianggap mendesak dari pemerintah pusat untuk importasi beras.
  3. Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang menawarkan agar pemerintah memaksimalkan hasil gabah Jabar yang melimpah.
  4. Gubernur Gorontalo, Rusli Habibie menegaskan, apabila pemerintah pusat ngotot mengimpor beras, maka komoditas tersebut dilarang masuk ke wilayahnya, karena akan merusak harga pasar yang dapat memukul petani setempat.
  5. Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa meyakinkan, bahwa daerahnya tidak memerlukan beras impor, mengingat ketersediaan yang surplus pada saat ini dan kecukupan pasokan hingga akhir Mei 2021.

Sementara itu, pihak-pihak lain melemparkan nada penolakan terhadap keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Perdagangan M Lutfi tersebut, semisal: Susi Pudjiastuti (mantan menteri KKP), Giring Ganesha (Plt Ketua Umum PSI), dan Hasto Kristiyanto (Sekjen DPP PDIP).

Bahkan Hasto menyebut, di balik impor beras terdapat banyak pemburu rente yang berkepentingan. Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati juga menyampaikan perihal rente yang masih kental di dalam transaksi impor beras.

Selisih harga perolehan beras dari dalam negeri lebih tinggi daripada harga impor (internasional). Sehingga, patut diduga, disparitas itulah yang membuat para pemburu rente bernafsu.

Apakah pemburu rente itu terkonsentrasi pada pihak tertentu atau tersebar? Hanya rumput bergoyang yang bisa menjawabnya.

Gampangnya, pemburu rente (rentseekeer) adalah pihak yang memiliki kedekatan dengan kaum birokrat penentu keputusan demi meraih keuntungan semata.

Tipikal kapitalis tersebut adalah, selalu berada di pusaran keputusan yang berkaitan dengan keuangan pemerintah. Pemburu rente tidak memberikan kepentingan bagi publik, kecuali kepada keuntungan sendiri dan upeti kepada pemangku amanah.

Sesungguhnya eksistensi pemburu rente itu sudah lama, yang saya ketahui sejak sebelum runtuhnya rezim Orde Baru..

Sekitar tahun 1994, saya bergabung dengan satu grup usaha, di mana salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang trading (jasa perdagangan) impor beras.

Pegawai-pegawainya sering bepergian ke luar negeri: Pakistan, India, Vietnam, Thailand, yang merupakan sumber perolehan pasokan beras.

Seingat saya, kantor itu mendapatkan pesanan atau Delivery Order (DO) dari Bulog. Jadi bukan impor atas kemauan sendiri dengan sistem penjualan free market. Bukan begitu.

Kedekatan petinggi perusahaan dengan pejabat Bulog memberikan keleluasaan untuk memperoleh DO. Setahu saya, saat itu pengusaha pengimpor beras bersifat eksklusif, tidak banyak jumlahnya.

Kedekatan tersebut juga membawa saya untuk memperoleh sebuah restoran berharga miring dari pejabat Bulog (baca di sini). Hikz.

Dengan dasar DO itulah pengusaha tersebut mengimpor beras dari negara yang memberikan penawaran harga paling menguntungkan. Pengusaha impor beras nyaris tidak perlu modal, kecuali biaya survei ke luar negeri. DO dibiayai oleh negara. Selisih harga perolehan dan harga pembelian Bulog merupakan keuntungan pengusaha. 

Berapa persisnya? Saya tidak terinformasi.

Tetapi yang jelas, kantor mereka menempati tiga perempat lantai sebuah gedung dengan sewa termahal di kawasan segitiga emas perkantoran Jakarta. Para petingginya seenaknya berganti kendaraan mewah setiap saat.

Lantas, apakah ada kickback atas lobbying dengan pejabat Bulog?

Waktu itu, dari beras impor hanya diikutip sebesar Rp 10 rupiah untuk setiap kilogram. Sedikit. Tidak signifikan pengaruhnya terhadap harga jual beras

Namun ketika dikalikan dengan jumlah tonase beras impor, maka jumlahnya akan merobek dompet (1 USD eq. Rp 2.250, kurs tahun 1995).

Satu kapal saja bisa memuat sekitar 20-30 ribu ton. Kawan-kawan saya memuat lebih dari satu kapal pada setiap pengiriman.

Realisasi uang komisi di bawah tangan, atau lazim disebut commitment fee, itu disalurkan ke rekening khusus dan tersembunyi yang dikuasai oleh pejabat Bulog. Rekening inilah yang kemudian dikenal sebagai Rekening non-Budgeter (off balance sheet account) yang tidak tercatat di kas negara.

Ke mana, atau dipakai apa saja dana non-Budgeter itu? Silakan dicari, mesin penelusur akan banyak bercerita tentang ihwal itu.

Pada tahun-tahun berikutnya, DO tersebut dikuasai perusahaan raksasa yang dimiliki oleh seorang konglomerat generasi lama. Jadi, kawan-kawan saya dan pemburu rente lainnya harus melalui perusahaan raksasa itu dalam kegiatan impor beras.

Bagaimana kelanjutan kiprah para pemburu rente setelah masa-masa itu? Sayangnya, saya sudah tidak mengikuti perkembangannya.

Dengan demikian, dugaan adanya keterlibatan pemburu rente di pusaran impor beras tahun 2021 dapat dipahami, kendati amat teramat sangat sulit untuk dibuktikan.

Hal itu juga membuktikan, bahwa pemburu rente di pusaran impor beras yang sudah ada sejak dulu tidak berhasil diberantas.

Atau tidak berani?

Sejatinya di dalam birokrasi, keterlibatan pengusaha dalam proses pengadaan beras impor adalah lumrah, ketika dilaksanakan secara transparan dan tanpa "hengki pengki".

Sumber rujukan: 1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun