Sekitar tahun 1994, saya bergabung dengan satu grup usaha, di mana salah satu anak perusahaannya bergerak di bidang trading (jasa perdagangan) impor beras.
Pegawai-pegawainya sering bepergian ke luar negeri: Pakistan, India, Vietnam, Thailand, yang merupakan sumber perolehan pasokan beras.
Seingat saya, kantor itu mendapatkan pesanan atau Delivery Order (DO) dari Bulog. Jadi bukan impor atas kemauan sendiri dengan sistem penjualan free market. Bukan begitu.
Kedekatan petinggi perusahaan dengan pejabat Bulog memberikan keleluasaan untuk memperoleh DO. Setahu saya, saat itu pengusaha pengimpor beras bersifat eksklusif, tidak banyak jumlahnya.
Kedekatan tersebut juga membawa saya untuk memperoleh sebuah restoran berharga miring dari pejabat Bulog (baca di sini). Hikz.
Dengan dasar DO itulah pengusaha tersebut mengimpor beras dari negara yang memberikan penawaran harga paling menguntungkan. Pengusaha impor beras nyaris tidak perlu modal, kecuali biaya survei ke luar negeri. DO dibiayai oleh negara. Selisih harga perolehan dan harga pembelian Bulog merupakan keuntungan pengusaha.Â
Berapa persisnya? Saya tidak terinformasi.
Tetapi yang jelas, kantor mereka menempati tiga perempat lantai sebuah gedung dengan sewa termahal di kawasan segitiga emas perkantoran Jakarta. Para petingginya seenaknya berganti kendaraan mewah setiap saat.
Lantas, apakah ada kickback atas lobbying dengan pejabat Bulog?
Waktu itu, dari beras impor hanya diikutip sebesar Rp 10 rupiah untuk setiap kilogram. Sedikit. Tidak signifikan pengaruhnya terhadap harga jual beras
Namun ketika dikalikan dengan jumlah tonase beras impor, maka jumlahnya akan merobek dompet (1 USD eq. Rp 2.250, kurs tahun 1995).