Ketergantungan itu diperkuat dengan pandangan "belum kenyang, bila belum makan nasi" yang melekat kuat di masyarakat. Kondisi itu telah berlangsung sejak lama, ditambah dengan perhatian melulu kepada program swasembada beras, yang diusung sejak pemerintahan Orde Baru.
Prioritas kepada ketersediaan pajale dan swasembada, telah mengesampingkan produksi sumber karbohidrat lain.
Bisa jadi lembaga riset pertanian milik pemerintah telah menghasilkan prosiding, jurnal, dan dokumen hasil penelitian mengenai tanaman non-pajale. Namun realitas menunjukkan pemanfaatan sumber-sumber pangan non-beras belum terasa gerakannya.
Kegagalan itu tidak bisa hanya dialamatkan kepada persepsi "belum kenyang sebelum makan nasi", karena kini masyarakat terbiasa mengonsumsi roti dan mi sebagai pengganti nasi. Indonesia sebagai pengimpor gandum, bahan pembuat roti dan mi, terbesar kedua di dunia.
Pihak swasta lebih berhasil dalam mengampanyekan bahan pangan non-nasi yang berasal dari terigu (gandum). Sedangkan kampanye diversifikasi pangan dengan tagline "kenyang tidak harus dengan nasi" gaungnya terdengar senyap.
Dengan kata lain, kampanye untuk mendorong diversifikasi pangan itu tidak membuktikan hasil yang diinginkan, kecuali nilai bagus di atas kertas.
Akhirul kata, kita berharap roadmap diversifikasi pangan dapat dipromosikan lebih gencar secara profesional, yang akan meninggalkan kesan kuat di benak masyarakat.
Dengan demikian, "kenyang tidak harus dengan nasi" bukan sekadar kampanye, tetapi ia menjadi gaya hidup dan kebiasaan masyarakat untuk mengonsumsi makanan pokok yang berasal dari sumber-sumber hayati lokal.
Sumber rujukan: 1, 2, 3, 4, 5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H