Bercita-rasa pedas. Begitulah gigitan pertama di lidah, ketika mengecap makanan Korea yang dikenal pedas merangsang dan menggiurkan.
Saya merasakan olahan negeri ginseng, pada tahun 2003-an, saat seorang teman berkebangsaan Korea mencontohkan cara membuat Kimchi.
Seingat saya, proses pembuatannya tidak terlalu sulit. Sawi putih yang dibelah dua memanjang dibalur garam, bumbu kimchi, dan bubuk cabai, lalu difermentasi di dalam wadah tertutup rapat. Setelahnya, hasil fermentasi itu dimasukkan ke dalam kulkas, agar proses peragian sempurna. Nah, kimchi buatan sendiri dengan bahan-bahan lokal siap disantap.
Cara pembuatannya dapat dilihat di sini.
Pria yang berprofesi sebagai broker itu juga mengajak ke restoran Korea di daerah Jakarta Pusat. Banyak sekali makanan dihidangkan: bulgogi (olahan daging), kimchi, aneka olahan mi, ikan, ayam, sayur lain yang saya sama sekali sudah tidak ingat namanya.
Pada tahun-tahun belakangan, makanan Korea mewarnai pasar kuliner domestik, ditandai dengan tumbuhnya gerai usaha kuliner hingga kreasi masakan rumahan.
Merebaknya aneka makanan itu beriringan dengan masuknya budaya hiburan yang dikenal sebagai K-Pop dan K-drama. Budaya populer dari Korea telah merambah berbagai negara, termasuk Indonesia yang kaya dengan warisan budayanya.Â
Melalui budaya pop itulah, barangkali, bangsa Korea berhasil memengaruhi alam pikir orang, lalu membeli segala hal yang berhubungan dengan Korea. Film, musik, makanan, dan obyek wisata Korea menjadi alternatif sajian bagi warga negara kita. Misalnya, film-film Korea berlatarbelakang pemandangan dan kehidupan di negaranya.
Sementara kita ingat, bahwa sebagian sineas Indonesia mengagungkan latar belakang obyek wisata dan kultur asing sebagai masterpiece di dalam pembuatan film.
Misal juga, artikel ini kaya dengan istilah asing agar tampak keren, padahal enggak.
Sudahlah, pasal itu sudah given. Anggaplah begitu.
Apakah kenaikan cabai belakangan ini menurunkan rasa pedas makanan Korea?
Rasa-rasanya tidak ada pengaruh babar blas. Sekuat pedas kimchi, sekuat itu pula kultur Korea melekat di kepala sebagian warga +62.
Pedasnya harga cabai rawit sampai Rp 140-150 ribu per kilo tidak serta-merta melunturkan cita rasa pedas makanan Korea, kendati harga komoditas tersebut, seperti bahan pangan lain, tetap vulnerable.
Terlalu banyak hal dijadikan dalih oleh birokrat yang bertanggungjawab terhadap hasil pertanian, termasuk ketergantungan kepada bahan pangan impor.
Dalam hal ini, saya menahan diri untuk tidak menggunakan paradigma dependesia.
Hampiran ekonomi politik dari Andre Gunder Frank itu menyoroti ketergantungan ekonomi suatu negara kepada negara lain atau lembaga internasional, semisal World Bank, dan pengaruhnya terhadap politik domestiknya.
Tidak. Terlalu jauh pemikiran tersebut untuk artikel naif ini.
Akan tetapi kenyataan memperlihatkan, sejak zaman kuda gigit besi ketergantungan kita kepada berbagai barang impor sudah ada. Nyaris semua sendi kehidupan dirasuki barang, seni, lifestyle, dan budaya impor, kecuali jengkol dan petai.
Ketergantungan itu dipengaruhi oleh kebiasaan konsumtif yang memuja kebudayaan luar lalu mengimitasi perilaku itu, tanpa diajarkan kemampuan menginovasi, mengkreasi, dan memproduksi.
Khusus produk pertanian, kekeliruan terstruktur itu disuburkan oleh tata kelola buruk dalam produksi dan distribusi, yang kemudian membawa harga bahan pangan mengendarai jet coaster. Naik turun tanpa kejelasan kapan bisa dibereskan.
Dengan demikian, gaung yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo yang baru lalu untuk benci produk asing, ibarat: mencari jarum Made in China di tumpukan jerami.
Sementara kenyataan di lapangan, lonjakan harga cabai rawit telah mengantarkan sejumlah warung Tegal (warteg) di Jabodetabek tutup, sebagaimana diberitakan oleh kompas.com.
Tidak semua dan, mungkin, tidak di tiap-tiap kota, seperti halnya warteg yang bersahaja di tepi jalan Tentara Pelajar, Bogor, yang sampai saat ini masih bertahan.
"Apa tidak terpengaruh oleh kenaikan harga?"
Pengusaha warteg yang asli Cilacap itu menjawab, "terpengaruh juga sih, tapi mau gimana lagi? Yang penting modal berputar, walaupun keuntungan menipis."
Namun demikian, sambal masih terasa pedas saat melahap sepiring nasi, telur dadar, dan tumisan sawi.
Demi meningkatkan penjualan, ia berencana buka 24 jam sehari. Pria muda itu juga menyediakan paket karyawan yang berharga mulai Rp8 ribu. Paket murah, tapi mengenyangkan dan tidak menguras isi dompet yang kian tipis.
Harapan terbesarnya adalah, memelihara ragam budaya asli, kearifan lokal, dan norma kebaikan warisan leluhur agar tidak luntur, sambil bergotongroyong mengatasi kesulitan pada saat pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H