Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pendekar Hukum Bersahaja yang Ditakuti Koruptor Itu Telah Tiada

1 Maret 2021   17:51 Diperbarui: 1 Maret 2021   18:17 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia berduka. Rakyat Indonesia kehilangan seorang pejabat publik bersahaja. Seorang pendekar hukum yang tidak segan-seganmengerangkeng para koruptor pada dinginnya jeruji besi.

Menjelang waktu Ashar, pada hari Minggu (28/01/2021), Artidjo Alkostar, pendekar hukum itu, telah berpulang.

Pria yang orang tuanya berasal dari Sumenep, Madura, itu dilahirkan pada tanggal 22 Mei 1949 di Situbondo, Jawa Timur, dan merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Ia sering terlihat naik kendaraan umum ke Kantor Mahkamah Agung, saat belum mendapatkan fasilitas kendaraan dinas.

Banyak cerita "ajaib" untuk ukuran pejabat Indonesia di seputar karier dunia hukumnya. Ketika menjadi Hakim Agung, pria tersebut sempat mengontrak rumah dengan biaya sendiri, sementara menunggu ketersediaan rumah dinas.

Pria berperawakan kurus itu ditakuti oleh para koruptor, karena tidak segan-segan menjebloskan mereka ke bui dalam waktu lama, seperti: Akil Mokhtar, OC Kaligis, Ratu Atut, Anas Urbaningrum, Sutan Bhatoegana, Angelina Sondakh.

Semasa berkantor di Gedung Mahkamah Agung, ia tidak mau menerima tamu yang ingin membicarakan perkara. Anggota Dewan Pengawas KPK itu semasa hidupnya menolak uang suap. Sikap dan perilaku yang amat sangat langka dipunyai oleh pejabat publik.

Selengkapnya dapat dibaca di sini.

Tahun 2020, Indonesia dianggap negara korup setara Gambia, Afrika, berdasarkan indeks yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII). Indeks Persepsi Korupsi, atau Corruption Perception Index (PCI) berada di angka 37. Dengan skala 0 (sangat korup) hingga 100 (bebas korupsi), maka indeks itu menunjukkan, merajalelanya praktik korupsi di negara kita.

Pada tahun 2020 dipersepsi, perbuatan korupsi menyelimuti institusi publik, salah satunya adalah lembaga peradilan dan hakim (24%).

Tiba-tiba ingatan saya terlempar kepada tahun 1980-an. Saat itu, Pakde (kakak dari orang tua), yang tinggal di Bandung, sedang mengurus sengketa rumah. Hunian peninggalan Belanda itu berstatus Verhuis Bergunning (VB), semacam surat izin menempati rumah bagi pegawai pemerintah dari kantor jawatan pemerintah (Belanda).

Singkatnya, surat izin itu merupakan penanda kepemilikan persil setelah penjajah minggat dari bumi Indonesia. Menurut informasi, sebagian bisa diurus menjadi sertifikat, yang lain mungkin tidak bisa (semisal rumah dinas yang berada di markas militer).

Kembali ke persoalan sengketa. Belasan tahun sebelumnya, rumah VB yang terletak di kawasan elite tersebut disewakan kepada warga keturunan Jerman.

Pada saat berakhirnya masa sewa, penghuni itu enggan keluar. Bahkan mengaku sebagai pemilik sah. Akar permasalahan secara persis, saya kurang paham.

Setelah kasus naik ke Mahkamah Agung, Pakde dan Bude sering bolak-balik ke Jakarta. Mengurus perkara di MA. Setelah menghabiskan waktu lama, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit, akhirnya rumah tersebut kembali bisa dikuasai.

Untuk apa biaya banyak itu?

Sejumlah uang diperlukan agar berkas perkara bisa didahulukan, dari tumpukan bawah dipindah ke atas. Selain itu, uang digunakan untuk menyuap bin menyogok hakim agar neraca keadilan timpang sebelah, ke sisi Pakde dan Bude.

Kisah penyuapan semacam itu sulit diungkapkan secara terperinci di muka umum. Apalagi dibuktikan.

Bisa jadi kasus di atas adalah setitik buih di tengah samudera korupsi.

Jumlah kasus korupsi ibarat tumpukan sampah yang menggunung, bau bacin, dengan limpasan cairan keruh yang menyebar ke seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah mencabik-cabik tubuh Ibu Pertiwi, menyebabkan luka bernanah yang menyebarkan bau busuk.

Namun demikian, para koruptor, yang notabene adalah pejabat publik, menyeruput dengan nikmat larutan keruh, bacin, dan berbau busuk itu di atas penderitaan rakyat.

Setitik kisah rumah VB di atas mengkonfirmasi, bahwa tindakan suap pernah (dan akan selalu) terjadi pada lembaga peradilan tersebut

Artidjo Alkostar adalah seorang pejabat publik yang berjuang menyapu dan membersihkan tumpukan sampah itu. Ia berada di dalam institusi yang dianggap oleh masyarakat sebagai tempat terjadinya korupsi.

Ia merupakan hakim agung, pejabat publik, dan pemangku kepentingan hukum yang paling berintegritas memegang teguh pendiriannya dan berlaku sebagai sosok yang memberikan harapan agar institusi hukum itu bersih.

Pendekar hukum itu telah pergi, tetapi kita sangat berharap: integritas, kemampuan, dan sikap Pak Artidjo terhadap korupsi dapat menginspirasi para pejuang anti korupsi lainnya.

Moga-moga lahir pendekar-pendekar hukum pengganti beliau.

Selamat jalan Pak Artidjo Alkostar. Semoga segala amal ibadah beliau mendapatkan ridho dari sang Pemilik Keadilan.

Aamiin.

Sumber rujukan:1,2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun