Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ketahanan Pangan yang Bukan Kedaulatan Pangan

24 Februari 2021   13:57 Diperbarui: 24 Februari 2021   14:03 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang anggota Komisi IV DPR RI menginginkan agar pemerintah meningkatkan akurasi pemetaan ketahanan dan kerentanan pangan. Hal itu berkaitan dengan hasil riset dunia yang menempatkan Indonesia di peringkat lebih rendah dibanding Zimbabwe dan Ethiopia dalam soal ketahanan pangan.

Global Hunger Index (GHI) adalah instrumen komprehensif yang dirancang untuk mengukur dan menjejaki tingkat kelaparan pada skala global, regional, dan nasional. Indeks ini ditentukan empat indikator:

  1. Kekurangan asupan kalori (undernourishment);
  2. Berat badan anak di bawah rentang normal (child wasting);
  3. Anak berkekurangan gizi yang kronis (child stunting);
  4. Tingkat kematian anak, akibat kekurangan nutrisi dan lingkungan buruk (child mortality).

Berdasarkan GHI, Indonesia menduduki peringkat ke-70 dari 132 negara, dengan meraih nilai 19,1. Indeks kelaparan itu turun, atau lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Poin tersebut dikategorikan Moderat (10,0-19,9). Selapis lebih baik adalah negara dengan tingkat kelaparan Rendah (di bawah 9,9). Sedangkan yang lebih buruk adalah Serius (20,0-34,9) dan Mengkhawatirkan (35,0-49,9). Selengkapnya dapat dilihat di sini.

Sedangkan menurut Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) atau Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan, jumlah daerah rawan pangan turun, dari 76 (tahun 2019) menjadi 70 kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2020. FSVA yang dibuat oleh Badan Ketahanan Pangan (BKP) bekerjasama dengan World Food Programme (WFP), disusun berdasarkan tiga pilar: ketersediaan, akses, dan manfaat pangan.

Bisa jadi dua indeks tersebut menggunakan pendekatan yang berbeda. GHI mengukur kecukupan dan dampak kekurangan pangan. FSVA memetakan ihwal pangan saja. Bagaimanapun, FSVA menggambarkan tentang ketahanan pangan yang "semakin membaik" dibanding tahun sebelumnya.

Lantas, apakah ketahanan pangan itu mencerminkan kedaulatan pangan?

Ketahanan pangan berkaitan dengan amanat UU No. 18/2012 tentang Pangan, yang menggambarkan keadaan tersedianya pangan yang cukup (kuantitas, mutu, keragaman, merata, bergizi) bagi masyarakat.

Sedang kedaulatan pangan berbicara mengenai:

  • Kemandirian Pangan (Food Resilience) yang merupakan kemampuan negara dalam menghasilkan beraneka ragam pangan dari dalam negeri yang cukup untuk masyarakat.
  • Keamanan Pangan (Food Safety) menjamin bahan pangan bebas dari cemaran yang menggangu, merugikan, membahayakan kesehatan.

Kemudian kecukupan itu ditutupi dengan importasi, menimbang produksi dalam negeri tidak mampu memenuhinya. Diketahui, terdapat belasan komoditas diimpor dari berbagai negara, antara lain: beras, jagung, kedelai, gula, daging, bawang, lada, teh, kopi, kakao, cabai, tembakau, kentang, dan lain-lain.

Maka, dalam hal pemenuhan pangan penduduk Indonesia, baik menurut pemahaman ketahanan pangan maupun kedaulatan pangan, perlu dipertanyakan kedudukan Kementerian Pertanian sebagai pihak yang bertanggung jawab atas bidang pertanian dan peternakan.

Disarikan dari situs Kementerian Pertanian RI, fungsi Kementan adalah:

  1. Perumusan, Penetapan, Pelaksanaan kebijakan dalam rangka peningkatan produksi pertanian (padi, jagung, kedelai, tebu, daging, dan pertanian lainnya).
  2. Kebijakan itu meliputi: peningkatan nilai tambah, daya saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian.
  3. Pelaksanaan bimbingan teknis, supervisi, penyuluhan, dukungan, pembinaan, pengelolaan kekayaan Kementan, dan pengawasan atas pelaksanaan tugas.
  4. Pelaksanaan diversifikasi dan pemantapan ketahanan pangan, juga soal karantina dan pengawasan terhadap kekayaan hayati.
  5. Pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan inovasi pertanian (riset).

Fungsi riset diemban oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbang Pertanian), didirikan pada tahun 1974. Lembaga itu masih dibantu oleh belasan unit pelaksana, terdiri dari: pusat penelitian, balai besar penelitian, balai penelitian.

Dengan kompleksitas lembaga riset tersebut, seharusnya negara kita yang Gemah Ripah loh Jinawi tidak perlu tergantung kepada impor bahan pangan. Hanya barang tertentu yang mesti dibeli dari negara lain, karena tidak cocok ditanam di sini, seperti gandum.

Meskipun pada saat ini ketahanan pangan dapat dipenuhi, namun kedaulatan pangan tidak tercapai. Buktinya pemerintah masih memasukkan (impor) bahan pangan yang sensitif terhadap fluktuasi perkembangan harga pangan dunia.

Banyaknya institusi penelitian dan pengembangan pertanian ternyata belum menjamin keberhasilan pencapaian kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan adalah kondisi ideal, di mana asupan kalori dan gizi bagi seluruh penduduk Indonesia sepenuhnya berasal dari produksi domestik.

Lebih dari 45 adalah waktu melimpah untuk menjadikan Indonesia meraih kedaulatan pangan.

Jadi, ketahanan pangan yang digembar-gemborkan selama ini bukan merupakan kedaulatan pangan diidamkan. Sebuah kondisi yang rentan terhadap fluktuasi harga pangan dunia.

Kapan kedaulatan pangan tercapai?

Krik...krik...krik....

Sumber rujukan: 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun