Diari,
Minggu pagi tanpa matahari adalah cuaca dingin. Semangkuk bakso dengan kuah mengepul layak menjadi pelampiasan, kendati perbuatan itu melanggar aturan. Bersama asupan lainnya, kudapan gurih itu merupakan pantangan bagiku.
Ya. Duniaku tanpa garam, gula, lemak, dan kolesterol. Selama ini aku menikmati alam rasa tawar, kendati perasaanku kepadamu tidaklah hambar.
Mulut dengan lancang menyeru, "Mas, bakso semangkuk, pakai kwetiau, sayur, bening, tanpa penyedap, dan lima butir garam."
Tidak butuh lama, semangkuk bakso panas terhidang. Sambal beserta kuah mengepul diaduk rata.
Ah, aku tidak akan bercerita tentang rasa daging giling bercampur tepung yang dibentuk membulat itu. Juga tidak perlu lagi berkisah mengenai sejarah pembuatan yang berakar di negeri Tirai Bambu.
Kebiasaanku dalam menandaskan semangkuk bakso adalah, terlebih dahulu mengunyah sayur, lalu menghabiskan kwetiau atau bihun atau mi, kemudian menyeruput kuahnya, terakhir memotong pentol bakso dan memasukkan ke dalam mulut secuil demi secuil.
Kenikmatan itulah yang membuatku ketagihan, juga kecanduan. Namun kecanduan itu mesti dilupakan, sejak aku divonis menderita penyakit kronis.
Bisa saja aku memesan bakso tanpa garam dan penyedap buatan, tetapi pentol bakso dibuat dengan membubuhkan garam dan bumbu penyedap. Kuahnya pun menggunakan kaldu dengan daging tetelan berlemak dan mengandung kolesterol.