Diari,
Kali ini langit mendung amat mendukung. Lagi pula sudah dua tahun lebih aku berada di dalam dunia hambar. Jadi boleh dong sekali-kali menuntaskan kangen kepadamu, eh, kepada rasa bakso.
Aku tahu hal itu merupakan pelanggaran atas sesuatu yang dilarang, tetapi keinginan yang mengalir di sepanjang aliran darah demikian deras. Air bah nafsu yang tidak terbendung lagi oleh aturan.
Justifikasi cukup dengan ujaran, "cuman sekali ini kok, gak kelihatan sehingga tidak ketahuan oleh orang lain, kecuali Mang Penjual Bakso."Â
Diari,
Nafsu yang demikian menjerat kepada perbuatan jahat. Kepada siapa? Kepada diriku sendiri.
Secara langsung, mudah-mudahan tidak, pelanggaran terhadap larangan akan berdampak buruk kepada diri sendiri. Kalau sakit kemudian menjadi semakin parah, ya aku sendiri yang menanggung. Orang lain hanya akan menerima getahnya. Cuma akan direpotkan dengan segala hal.
Diari,
Ada dua perihal yang bisa aku tarik sebagai pelajaran dari peristiwa di atas.
Pertama, pikiran sehat dan akal budi telah dimarginalkan, semata-mata demi menuruti hawa nafsu, dengan melanggar suatu larangan, aturan, dan kaidah-kaidah manusia waras.
Kedua, pelanggaran itu akan berpengaruh langsung terhadap diri si pelanggar, dalam bentuk kesakitan, kesulitan, kesengsaraan, dan soal tidak mengenakkan lainnya. Orang lain akan turut direpotkan dengan merawatnya.