Namun cara merebus toge di rumah merangkap warung yang saya hampiri itu berbeda. Penjual memanaskan wajan alumunium di atas kompor gas. Aroma asap telah hilang, seiring dengan lunturnya kultur Sunda pada sebagian generasi muda Bogor.
Meskipun tidak setara produk Pak Gebro dan turunannya, namun rasanya lumayan. Piring licin tandas sudah cukup bercerita.
Sejak kedatangan saya sampai dengan habisnya makanan, warung itu tiada pembeli, baik yang makan di tempat, membungkusnya, maupun yang memesan melalui aplikasi daring.
Bu Dede menuturkan, belum terlalu lama ia membuka warung di depan rumah. Sebelumnya mengontrak tempat di daerah strategis dengan dagangan serupa. Bencana kesehatan telah meruntuhkan omzet penjualan, sehingga membuatnya tidak kuat melanjutkan sewa tempat tersebut.
Dari 40-50 porsi, penjualan terjun bebas menjadi 5, atau paling banter 10, porsi per hari. Cara paling logis adalah memanfaatkan rumah sendiri yang berada di ujung gang untuk berjualan, kendati jauh dari kategori strategis. Harga seporsi Rp 15.000,- dirasa berat bagi tetangga sekitar.
Oleh karena itu, wanita paruh baya tersebut menggandeng aplikasi daring untuk meluaskan jaringan penjualan. Itulah pencapaiannya, 5-10 porsi per hari. Sedangkan penikmat yang makan di tempat amatlah jarang, kecuali seperti saya yang "terpaksa" jajan karena berteduh.Â
Cuaca sudah lama terang. Obrolan kian panjang. Sayangnya si Ibu enggan difoto. "Malu," katanya.
Di kejauhan tampak seorang wanita muda berjalan mendekat. Anggun berbalut blus putih dengan rok span hitam menutupi lutut dan menampilkan kaki jenjang nan pualam. Barangkali pembeli. Benar.Â
Wanita berwajah cantik itu, meski ditutup masker, menghampiri warung.
Tiba-tiba saya sok akrab, "mau beli toge goreng, Mbak?"