Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Selain Gurih, Ternyata Toge Goreng Juga Sedap Dipandang Mata

8 Februari 2021   11:57 Diperbarui: 8 Februari 2021   12:08 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Display toge goreng dari dekat (dokumen pribadi)

Jajanan populer Toge Goreng selain bercita-rasa gurih, juga sedap dipandang mata. Gak percaya? Ikuti penjelasan berikut.

Pada Sabtu pagi mendadak gerimis turun dari langit. Di ujung gang terdapat sebuah warung. Ke situlah tujuan saya berlabuh sekaligus mengganjal perut. Di teras rumah biru berjendela pink terletak peralatan masak dan pikulan khas pedagang Toge Goreng. 

Ingat, ya "toge" doang! Itu bukan dari frasa yang disingkat.

Toge atau tauge adalah kecambah yang tumbuh dari biji-bijian. Tumbuhan muda yang berkecambah dari kacang hijau merupakan sayuran berwarna putih yang lazim diolah menjadi aneka masakan. 

Kita mengenalnya sebagai salah satu unsur pembentuk gado-gado. Ibu-ibu memasaknya sebagai oseng-oseng tauge tahu kuning, atau juga tumis tauge cabai hijau ikan jambal asin.

Di Bogor dikenal olahan Toge Goreng yang dijajakan di kaki lima. Pedagang jajanan populer tersebut memiliki ciri khas: pikulan berwarna hijau merah bersilangan, nampan datar bulat terbuat dari kuningan, dan dimasak menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Asap tebalnya membuat aroma Toge Goreng menjadi khas.

Saat pertama kali menjejakkan kaki di kota hujan, sekitar tahun 1980 an, saya mencicipi penganan rakyat tersebut. Waktu itu penjual Toge Goreng terkenal adalah Pak Gebro yang berdagang di depan Pasar Anyar.

Sepiring toge goreng yang mirip spaghetti (dokumen pribadi)
Sepiring toge goreng yang mirip spaghetti (dokumen pribadi)
Sepiring toge goreng dibentuk dari: potongan ketupat, tahu kuning goreng, mi basah berwarna kuning, tauge yang sebelumnya direbus di "wajan" datar, dan kemudian di atasnya disiramkan saus tauco dan oncom yang telah diolah bersama bumbu lain yang tidak saya ketahui komposisinya.

Cara membungkusnya pun unik, bila dibawa pulang. Toge goreng dibungkus dengan daun patat (berbentuk mirip daun pisang, tetapi lebih kecil, tidak mudah robek) dan diikat dengan tali terbuat dari daun pandan liar kering.

Gabungan rasa asin, manis, dan asam membangun cita rasa gurih yang membuat nagih. Aroma asap kayu bakar demikian merangsang kelenjar ludah. Sepintas, penampilannya mirip spaghetti. Konon memang meniru pasta Italia itu, namun dengan olahan bergaya dan menurut selera lokal.

Namun cara merebus toge di rumah merangkap warung yang saya hampiri itu berbeda. Penjual memanaskan wajan alumunium di atas kompor gas. Aroma asap telah hilang, seiring dengan lunturnya kultur Sunda pada sebagian generasi muda Bogor.

Warung toge goreng ujung gang jual toge goreng (dokumen pribadi)
Warung toge goreng ujung gang jual toge goreng (dokumen pribadi)
Saat ini, penjual Toge Goreng tidak sebanyak penjaja Mi Ayam atau Bakso, sehingga warung jajanan klasik yang terpencil di ujung gang merupakan anomali dan juga oasis. Mengingatkan saya tentang rasa yang telah lama tidak dikecap.

Meskipun tidak setara produk Pak Gebro dan turunannya, namun rasanya lumayan. Piring licin tandas sudah cukup bercerita.

Sejak kedatangan saya sampai dengan habisnya makanan, warung itu tiada pembeli, baik yang makan di tempat, membungkusnya, maupun yang memesan melalui aplikasi daring.

Bu Dede menuturkan, belum terlalu lama ia membuka warung di depan rumah. Sebelumnya mengontrak tempat di daerah strategis dengan dagangan serupa. Bencana kesehatan telah meruntuhkan omzet penjualan, sehingga membuatnya tidak kuat melanjutkan sewa tempat tersebut.

Dari 40-50 porsi, penjualan terjun bebas menjadi 5, atau paling banter 10, porsi per hari. Cara paling logis adalah memanfaatkan rumah sendiri yang berada di ujung gang untuk berjualan, kendati jauh dari kategori strategis. Harga seporsi Rp 15.000,- dirasa berat bagi tetangga sekitar.

Oleh karena itu, wanita paruh baya tersebut menggandeng aplikasi daring untuk meluaskan jaringan penjualan. Itulah pencapaiannya, 5-10 porsi per hari. Sedangkan penikmat yang makan di tempat amatlah jarang, kecuali seperti saya yang "terpaksa" jajan karena berteduh. 

Cuaca sudah lama terang. Obrolan kian panjang. Sayangnya si Ibu enggan difoto. "Malu," katanya.

Di kejauhan tampak seorang wanita muda berjalan mendekat. Anggun berbalut blus putih dengan rok span hitam menutupi lutut dan menampilkan kaki jenjang nan pualam. Barangkali pembeli. Benar. 

Wanita berwajah cantik itu, meski ditutup masker, menghampiri warung.

Tiba-tiba saya sok akrab, "mau beli toge goreng, Mbak?"

Wanita muda berkulit bening sedap dipandang mata itu mencium tangan Bu Dede, penjual Toge Goreng, sambil bergumam, "enggak, ini rumah orang tua saya."

Jadi, rasa Toge Goreng di warung ujung gang itu cukup gurih kok. Tidak terlalu buruk. Juga ada makhluk yang sedap dipandang mata, mengungkit semangat empat lima.

Saya taksabar ingin jajan lagi di warung ujung gang itu, kendati sepi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun