Begitu teori nan indah sejuk dipandang di atas kertas.
Kenyataannya? Saya menyaksikan dua kisah yang meruntuhkan jaminan KTP-el sebagai kartu identitas tunggal yang tidak dapat digandakan.
Pertama. Seorang kenalan, pejabat sebuah instansi pemerintah, dua kali melaksanakan hak pilihnya dalam Pilpres lalu. Pagi hari ia mencoblos di satu kota tempat tinggalnya, lalu pada siang hari mencoblos lagi di kota lain. Dengan cara tertentu, ia berhasil melenyapkan jejak tinta di jari.Â
Rahasianya, pejabat tersebut memiliki dua KTP-el, masing-masing menyatakan domisili di kota berlainan.
Kedua. Seorang teman yang berumah di Kabupaten Bogor, memiliki KTP-el kota Depok. Demikian karena beberapa sepeda motor miliknya menggunakan alamat Depok. Sedangkan mobil tunggangannya berpelat nomor Kota Bogor. Kok bisa?Â
Pemborong yang mencari makan di Kabupaten Bogor itu memiliki dua KTP-el, Kota Depok dan Kota Bogor.
Dua cerita itu membuktikan, ada sementara pihak yang bisa mengurus dua KTP elektronik, yang menurut sahibul hikayat tidak dapat dipalsukan atau digandakan.
Dengan sumber daya yang dimilikinya, dua orang itu mampu menembus belantara birokrasi yang sudah tersohor ruwetnya. Bagaimana tidak ruwet?
Bagi saya yang pecahan beling, menjelajahi alur birokrasi membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan waktu. Berdarah-darah pula. Butuh banyak kertas agar berhasil melampaui proses itu.
Takperlu saya ceritakan keruwetan tersebut dan banyaknya dokumen dibutuhkan. Bisa-bisa artikel ini akan setebal berkas tagihan proyek. Enggak perlu kan?
Sepengetahuan saya, dua orang itu menyiasati keruwetan birokrasi dengan mudah, yaitu memanfaatkan kekuatan uang dan kekuasaan. Cerdik sekaligus licik.