Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lomba Menulis yang Mengajak Kita Berbagi Kebaikan

26 Januari 2021   11:57 Diperbarui: 26 Januari 2021   12:19 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adakalanya pejabat menanam harapan sedemikian tinggi mengangkasa, yang kemudian menuai kekecewaan rakyat biasa.

Dulu, seorang petinggi dengan jemawa menegaskan, bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat untuk membendung dampak krisis finansial. Tidak seperti halnya yang telah menimpa Korea Selatan dan Thailand.

Masa 1997-98 perekonomian Indonesia terpuruk dalam krisis moneter berkepanjangan dan lebih dalam dibanding dengan  negara-negara Asia lainnya. Ditandai dengan: melambungnya nilai tukar dolar AS dan valuta asing; mata uang Rupiah jatuh; harga barang melonjak, terutama produk impor; dan meredupnya kegiatan kantor.

Sebaliknya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak terlalu kena imbas. Mereka masih bisa beraktivitas. Ditambah dengan orang-orang eks pegawai kantoran yang turut meramaikan lapak kaki lima, juga warung tenda.

Perekonomian UMKM menggeliat, berdagang melayani pegawai perusahaan yang masih bertahan dan masyarakat umum yang ngeceng (orang mejeng sambil berjalan-jalan).

Tidak seperti saat ini, di mana terdapat pembatasan pergerakan manusia, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau dengan istilah baru, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang membatasi pergerakan, interaksi, dan kemudian transaksi yang terjadi di masyarakat.

Kegiatan ekonomi semasa pandemi Covid-19 menjadi terkungkung, terlepas dari adanya imbauan pemerintah maupun kehendak sendiri untuk memutus mata rantai penularan coronavirus.

Dengan sedikit melebarkan penglihatan dan mata hati, resultan dari pembatasan aktivitas itu terasa di sekitar kita.

Pelaku usaha warung kopi, gorengan, nasi uduk, mengaku bahwa penjualan mengalami penurunan. Pun secara kasat mata, muncul pedagang tepi jalan dan asongan yang menjual berbagai barang, seperti masker, misalnya. Atau mereka yang mendadak menggelar meja di depan rumah, berdagang aneka masakan matang. Masih banyak contoh lain yang bisa diidentifikasi.

Meskipun demikian, mereka tetap menanam asa, dengan kegiatan usaha itu mereka berharap dapat menangguk penghasilan dari situasi yang tidak menentu pada dewasa ini.  Demi keluarga mereka agar bisa makan.

Berapa pendapatan yang diperoleh?

Mungkin lima puluh, seratus ribu, atau seratus lima puluh ribu per hari. Apalagi mengingat sebagian dari mereka tidak beruntung mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah.

Alasannya? Banyak! Bisa jadi karena belum terdaftar, tidak layak didaftarkan, pihak RT atau RW mengutamakan kerabat atau bisnis yang sudah eksis, dan banyak lagi hambatan yang dapat dielaborasi. Para ahli tentunya lebih memahaminya.

Pelaku usaha mikro itu terus berusaha, sambil menunggu kucuran dana, terutama harapan membaiknya situasi ekonomi. Sedikit banyak hasil patut disyukuri.

Di tengah samudra ketakpastian, menetes setitik harapan.

Beberapa hari lalu, terbit artikel "[KPB Yuk Nulis] Mengisahkan Usaha Mikro di Sekitar Kita, Berhadiah Jutaan Rupiah" di Kompasiana. Isinya, ajakan menulis yang mengisahkan kegiatan pelaku usaha mikro: warung/penjaja kopi, gorengan, nasi uduk, penjual rumahan, dan pedagang lainnya dengan omzet penjualan taklebih dari Rp 150 ribu per hari.

Pelaku usaha mikro semacam itu berada dekat di sekitar kita. Atau bahkan ada Kompasianer yang memilikinya dan ingin menceritakan suka-duka kegiatan usaha tersebut. Itu akan menjadi kisah yang menarik juga menginspirasi bagi para pembaca.

Dengan demikian, kita meliput, mewawancarai, mengulas tentang pelaku usaha mikro serta menuangkannya dalam bentuk karya tulis. Jika beruntung terpilih sebagai pemenang, maka pelaku usaha mikro yang menjadi bahan tulisan kecipratan rezeki dari sponsor kegiatan, yaitu Kompasianer Mbak Widz Stoops.

Diaspora (pemahaman kata menurut Dino Patti Djalal) yang berdomisili di Amerika Serikat itu mengajak para Kompasianer untuk memutar lingkaran kebaikan, dengan cara berbagi kepada sesama menghadapi ketidakpastian selama pandemi. Harapannya, kebaikan tersebut akan berpulang kepada si penggerak kebaikan, siapa pun itu.

Menurut saya, lomba menulis tersebut merupakan pengejawantahan dari ajakan untuk berbagi kebaikan kepada sesama dalam situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun