Berapa pendapatan yang diperoleh?
Mungkin lima puluh, seratus ribu, atau seratus lima puluh ribu per hari. Apalagi mengingat sebagian dari mereka tidak beruntung mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah.
Alasannya? Banyak! Bisa jadi karena belum terdaftar, tidak layak didaftarkan, pihak RT atau RW mengutamakan kerabat atau bisnis yang sudah eksis, dan banyak lagi hambatan yang dapat dielaborasi. Para ahli tentunya lebih memahaminya.
Pelaku usaha mikro itu terus berusaha, sambil menunggu kucuran dana, terutama harapan membaiknya situasi ekonomi. Sedikit banyak hasil patut disyukuri.
Di tengah samudra ketakpastian, menetes setitik harapan.
Beberapa hari lalu, terbit artikel "[KPB Yuk Nulis] Mengisahkan Usaha Mikro di Sekitar Kita, Berhadiah Jutaan Rupiah" di Kompasiana. Isinya, ajakan menulis yang mengisahkan kegiatan pelaku usaha mikro: warung/penjaja kopi, gorengan, nasi uduk, penjual rumahan, dan pedagang lainnya dengan omzet penjualan taklebih dari Rp 150 ribu per hari.
Pelaku usaha mikro semacam itu berada dekat di sekitar kita. Atau bahkan ada Kompasianer yang memilikinya dan ingin menceritakan suka-duka kegiatan usaha tersebut. Itu akan menjadi kisah yang menarik juga menginspirasi bagi para pembaca.
Dengan demikian, kita meliput, mewawancarai, mengulas tentang pelaku usaha mikro serta menuangkannya dalam bentuk karya tulis. Jika beruntung terpilih sebagai pemenang, maka pelaku usaha mikro yang menjadi bahan tulisan kecipratan rezeki dari sponsor kegiatan, yaitu Kompasianer Mbak Widz Stoops.
Diaspora (pemahaman kata menurut Dino Patti Djalal) yang berdomisili di Amerika Serikat itu mengajak para Kompasianer untuk memutar lingkaran kebaikan, dengan cara berbagi kepada sesama menghadapi ketidakpastian selama pandemi. Harapannya, kebaikan tersebut akan berpulang kepada si penggerak kebaikan, siapa pun itu.
Menurut saya, lomba menulis tersebut merupakan pengejawantahan dari ajakan untuk berbagi kebaikan kepada sesama dalam situasi ekonomi yang sulit seperti sekarang.
Semoga bermanfaat.