Nyaris separuh atau 42 persen konsumsi daging bergantung kepada transaksi impor. Tidak mengherankan, apabila sensitivitas harga eceran daging kepada masyarakat sangat dipengaruhi harga perolehan di negara lain.
Menanggapi pemogokan, pemerintah berinisiatif mempertemukan pihak Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (APDI) dan Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) serta dihadiri oleh perwakilan dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Bulog, hingga PT Berdikari (Persero).
Dengan adanya pertemuan tersebut, Kastaf Kepresidenan Moeldoko mengharapkan, agar para pihak memetakan harga dan memutuskan kebijakan impor sapi hidup maupun daging beku.
Berlandaskan kenyataan di atas dapat ditarik, setidaknya, dua sikap birokrat dalam rangka merespons kenaikan harga daging yang berlanjut kepada pemogokan pedagang, yaitu:
1.Bersikap Reaktif, bukan Antisipatif
Eloknya, kebijakan harga daging telah dipikirkan jauh-jauh hari dengan mengurangi tingkat ketergantungan kepada daging impor.
Caranya? Ya meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil ternak dalam negeri. Kementerian Pertanian juga mengurusi perihal peternakan kan? Rasa-rasanya, lembaga riset seperti Balitnak dan Balitvet bukan baru berdiri pada hari Jumat kemarin.
Harusnya ia sudah menghasilkan usulan kepada Menteri Pertanian untuk mendorong industri peternakan dalam negeri dalam rangka menipiskan dependensi.
2.Lebih Memerhatikan Impor, Mengabaikan Kemandirian Suplai Domestik
Langkah jangka pendek yang dilakukan pemerintah adalah mengendalikan harga. Sedangkan program jangka menengah dan panjang berkenaan dengan kebijakan impor.Â
Tidak tercermin program kemandirian pasokan daging dari dalam negeri. Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan mestinya menelurkan kebijakan yang mampu mendorong swasembada bidang peternakan.