Negeri kita kaya dengan tradisi tutur yang turun temurun. Cerita rakyat yang dikisahkan oleh satu generasi ke angkatan di bawahnya bertebaran di berbagai penjuru Indonesia. Cerita rakyat itu mengandung nilai-nilai moral tentang: kearifan lokal, relasi sosial, adab kepada orang tua, menjaga kepercayaan, dan cinta.
Sebuah folklor dari Jawa Timur menuturkan, bahwa pada akhirnya Jaka Tarub melanggar sesuatu atau sebuah pesan yang dipercayakan kepadanya oleh sang istri, Nawang Wulan.Â
Akibatnya, ia terpaksa merelakan belahan jiwa yang dicintainya itu kembali ke kahyangan. Jaka Tarub pasrah ditinggalkan ibu dari putrinya.
Pesan moral dari legenda Jaka Tarub dan Nawang Wulan tersebut adalah, betapa pentingnya menjaga amanah, sebuah kepercayaan yang dititipkan ke pundaknya.
Kisah lengkapnya dapat dibaca di sini.
Nilai tersebut masih aktual diterapkan pada kondisi mutakhir saat ini. Salah satunya, ada saja kabar tentang pejabat publik yang menyelewengkan kepercayaan yang diembannya melalui korupsi, kendati orang khianat itu telah mengikrarkan sumpah jabatan dan menandatangani pakta integritas.
Selain meriwayatkan budi pekerti, legenda tersebut juga menarasikan tentang petualangan cinta.
Alkisah, Jaka Tarub adalah seorang lajang gaul pujaan gadis-gadis muda di kampungnya. Akan tetapi pemuda tampan itu merasa, bahwa cewek-cewek cakep tersebut tidak termasuk dalam daftar pilihan sebagai calon istri.
Jomlo itu mendambakan Putri Impian menurut parameter yang diyakini. Jadi takheran, tiada satu pun kuntum desa dipetiknya.
Suatu ketika ia mendengar cekikikan dari dalam hutan. Ditelusurinya suara-suara halus itu. Disingkapnya semak belukar agar pandangan bebas menancap. Amboi!
Tujuh gadis super cantik, melebihi super model kelas dunia, sedang bermain-main air menyegarkan tubuh mulus di beningnya air terjun. Telanjang bok! Gak kuat nulisnya.
Singkatnya, pria pengintai wanita mandi itu ngembat selendang milik salah satu nona bak bidadari itu. Eh, mereka memang bidadari dari kahyangan ding.
Dalam dunia nyata, kehadiran bidadari merupakan angan belaka. Kecantikannya menjelajahi ruang impian adalah kesiasiaan.
Seandainya 100 atribut yang dikenal manusia perihal kejelitaan disematkan, maka bidadari akan memperoleh ponten 99. Sehingga, sejatinya, tiada wanita yang dapat menandinginya.
Pada awal puber, seorang pria akan memandang gadis bernilai kecantikan 50 sebagai Putri Impian yang bayangnya mengganggu malam terlelap.
Dalam perkembangan berikutnya, definisi Putri Impian berubah ketika ia melihat seorang wanita dengan skala keelokan 70. Bandul patokan tersebut bergerak dinamis, seiring dengan naiknya penilaian mengenai kecantikan.
Bagi generasi old, Angelina Jolie adalah putri impian. Lain lagi generasi milenial yang mengkhayalkan artis-artis Korea. Para pemeran sinetron domestik juga menjadi objek angan.
Puncaknya adalah keinginan untuk memimpikan bidadari turun dari kahyangan, lantas berendam di waterpark. Kalau bisa lebih dari satu. Glek.
Dengan kata lain, parameter keinginan demi memperoleh pasangan kian lama kian menjauh menuju bintang. Putri Impian hanya gemintang di kepala
Senyatanya, terus berangan-angan tentang Putri Impian mengarah kepada pengabaian terhadap gadis baik hati yang ada di sekitar. Barangkali saja ia tidak sebanding dengan Putri Impian, tetapi sebenarnya gadis itu memenuhi syarat sebagai pasangan.
Persepsi mengenai Putri Impian lah yang membutakan mata hati kita.
Konsekuensinya, pria lajang menjadi jomlo. Para suami ingin kawin, eh, nikah lagi atau juga berselingkuh.
Fenomena Putri Impian tidak hanya melanda para pria. Kaum hawa pun bisa mengalami gejala serupa, dengan konsekuensi sama pula, dan disebut: Pangeran Impian.
Putri Impian dan Pangeran Impian tidak nyata dan abadi. Pandangan ini hanya sebuah angan temporer yang berubah-ubah dan mudah lenyap diterpa angin.
Jadi, sebaiknya redam keinginan memiliki Putri Impian ataupun Pangeran Impian. Demikian agar para jomlo segera menemukan pasangannya. Pun mereka yang telah berpasangan bisa tetap setia kepada belahan jiwanya.
Fenomena Putri Impian maupun Pangeran Impian adalah seperti disebut oleh Almarhum Asmuni, hil yang (nyaris) mustahal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI