Dalam dunia nyata, kehadiran bidadari merupakan angan belaka. Kecantikannya menjelajahi ruang impian adalah kesiasiaan.
Seandainya 100 atribut yang dikenal manusia perihal kejelitaan disematkan, maka bidadari akan memperoleh ponten 99. Sehingga, sejatinya, tiada wanita yang dapat menandinginya.
Pada awal puber, seorang pria akan memandang gadis bernilai kecantikan 50 sebagai Putri Impian yang bayangnya mengganggu malam terlelap.
Dalam perkembangan berikutnya, definisi Putri Impian berubah ketika ia melihat seorang wanita dengan skala keelokan 70. Bandul patokan tersebut bergerak dinamis, seiring dengan naiknya penilaian mengenai kecantikan.
Bagi generasi old, Angelina Jolie adalah putri impian. Lain lagi generasi milenial yang mengkhayalkan artis-artis Korea. Para pemeran sinetron domestik juga menjadi objek angan.
Puncaknya adalah keinginan untuk memimpikan bidadari turun dari kahyangan, lantas berendam di waterpark. Kalau bisa lebih dari satu. Glek.
Dengan kata lain, parameter keinginan demi memperoleh pasangan kian lama kian menjauh menuju bintang. Putri Impian hanya gemintang di kepala
Senyatanya, terus berangan-angan tentang Putri Impian mengarah kepada pengabaian terhadap gadis baik hati yang ada di sekitar. Barangkali saja ia tidak sebanding dengan Putri Impian, tetapi sebenarnya gadis itu memenuhi syarat sebagai pasangan.
Persepsi mengenai Putri Impian lah yang membutakan mata hati kita.
Konsekuensinya, pria lajang menjadi jomlo. Para suami ingin kawin, eh, nikah lagi atau juga berselingkuh.
Fenomena Putri Impian tidak hanya melanda para pria. Kaum hawa pun bisa mengalami gejala serupa, dengan konsekuensi sama pula, dan disebut: Pangeran Impian.