Sebagian orang melabeli dekade menjelang tahun 2000 sebagai kejayaan musik 90s. Ditandai dengan lahirnya beraneka genre lagu dari musik 90s yang masih enak didengar sampai sekarang.
Pada senja yang masih muda, seorang gadis berkacamata minus mendatangi tempat kos. Wanita bermata indah itu meminta agar saya menerjemahkan lirik lagu dari Bryan Adams '(Everything I do) I do it for you'.Â
Don't tell me it's not worth tryin' for, You can't tell me it's not worth dyin' for
Ah, hati siapa tidak runtuh, mendengar suara merdu nan sendu.Â
Corat-coret sebentar, jadilah hasil terjemahan yang kemudian dibayar dengan sebuah kecupan manis di pipi. Kelanjutannya akan dikisahkan dalam artikel lain. Jika sempat.
Lagu-lagu populer tahun 90an juga diputar di sirkuit Sentul. Lantunan suara dari kelompok musik Java Jive dan Sheila on 7 pada jeda Night Race (gelaran balap mobil drag pada malam hari) tahun 1995 masih menggema di dalam ingatan sampai kini.
Sampai tahun 2005-2006, musik 90s, selain masih asyik didengarkan, juga saya gunakan untuk nge-DJ. Bagaimana ceritanya?
Sebetulnya waktu itu, di kalangan clubber atau penikmat dugem di Jakarta selera musik sudah bergeser ke lagu-lagu berirama cepat. Hip-hop, house, techno, ambient, dan trance music adalah contoh-contohnya.
Nada-nada bertempo 135-150 beat per-minute (BPM) itu dimainkan oleh para disc jockey (DJ), memacu jantung pengunjung kafe, bar, dan diskotek untuk menari liar di lantai dansa. Seolah menyeru, "let's dance 'till dawn, enjoy the music!"
Termasuk di bar yang saya kelola. Home DJ memutar piringan hitam dan compact disc, melantunkan musik berirama cepat mengiringi tamu menikmati malam penuh kegembiraan. Melupakan sejenak rutinitas.
Suatu ketika, home DJ andalan absen. Pegawai yang khusus digaji untuk menghadirkan ambiens perayaan itu sakit. Menyetel musik secara playback dirasakan kurang "nendang" oleh para pelanggan.