Setiap bulan, bersama pimpinan lainnya dan orang-orang Jepang, saya menjadi komite penyeleksian dalam sebuah audisi. Memilih dari sekitar 90 - 100 wanita muda berpenampilan menarik.
Oleh para kandidat, "penampilan menarik" itu diterjemahkan berdasarkan arti leksikal atau secara harfiah.
Maka dalam audisi itu muncullah wanita-wanita muda dari berbagai daerah dengan pakaian aduhai: rok mini dan blus dengan belahan dada lebar.
Dari sekian banyak kandidat, terpilih 10 - 15 orang. Belakangan saya baru mengerti, orang Jepang yang hadir dalam audisi mempunyai "selera" khas dalam menentukan pilihan. Menurut pandangan mata kebanyakan, seorang wanita dianggap cantik tetapi belum tentu menjadi pilihan orang Jepang tersebut.
Belakangan saya baru mengerti, yang terpilih adalah wanita lugu yang memiliki "bakat cantik". Barangkali semacam inner beauty.
Wanita-wanita terpilih akan dilatih di balai pelatihan milik perusahaan. Setelah melalui screening dari beberapa instansi pemerintah Indonesia dan memperoleh eligible letter dari pemerintah Jepang, para wanita muda itu berangkat ke negeri Sakura selama 3 bulan dengan opsi perpanjangan waktu untuk  3 bulan berikutnya.
Mereka dikirim sebagai "duta budaya" ke Jepang, yang pada kenyataannya bekerja di tempat-tempat hiburan malam . Tempat semacam itu biasanya dikuasai mafia Jepang.
Bisa jadi orang Jepang yang hadir dalam audisi setiap bulan adalah anggota Yakuza, meski tampang dan perilakunya tidak menggambarkan sebagai mafia.
Pendek kata, sesudah 6 bulan wanita muda yang pulang dari Jepang wajah dan penampilannya berubah 180 derajat. Menakjubkan, bikin pangling. Saking kerennya bisa dibandingkan dengan selebritas. Selain berpenampilan keren, mereka mampu membeli sawah di asalnya.
Kalau dibawa ke Plaza Senayan, Jakarta, tidak malu-maluin, sepanjang tidak bersuara.
Kalau malam, mereka dengan mudah dapat ditemui di diskotik Embassy, Taman Ria Senayan. Itu duluuuu ...!