Kondisi kesehatan saya saat ini mengingatkan kepada seseorang dengan keadaan yang sama pada masa silam.
Seperempat abad yang lalu, kantor tempat saya bekerja memperoleh proyek besar. Untuk mendukung kegiatan itu, perusahaan harus membangun pabrik kusen dan pabrik bata. Pabrik kusen sudah ada. Pabrik bata belum ada gambaran.
Setelah memperoleh persetujuan anggaran, saya beserta 2 orang kolega berangkat ke Jatiwangi, Jawa Barat untuk mencari lahan yang cocok bagi pabrik bata. Bata dirancang khusus untuk menyokong proyek perumahan yang dibangun dengan sistem pre-fabricated. Target waktu perolehan adalah 1 bulan, sekaligus membuat perencanaan keuangan dan sebagainya.
Untuk itu seperangkat Personal Computer (PC) beserta printer DOT matrix di bawa ke Kadipaten, dimana terdapat satu-satunya hotel yang dekat Jatiwangi.
Kenapa mengusung PC? Karena waktu itu laptop masih merupakan barang langka dan berharga mahal.
Dalam rangka mencari tanah yang sesuai, saya mengeksplorasi aset-aset sitaan sebuah bank pemerintah (sebelum di-merger) di Cirebon. Singkatnya, didapat sebuah persil eks jaminan berupa pabrik genteng lengkap dengan bangunan dan mesin-mesin dan sebuah rumah. Diperkirakan, dengan sedikit modifikasi, mesin-mesin dapat digunakan untuk membuat bata.
Pihak bank menyodorkan harga "tebusan" Rp 700 juta, yang merupakan nilai pokok pinjaman ditambah bunga berbunga dan denda. Sementara anggaran dari kantor sebesar Rp 600 juta (tahun 1995, 1 Dolar = Rp 2.250) untuk pengadaan lahan dan bangunan dimaksud.
Setelah menyusun kalkulasi berdasarkan ilmu perkreditan, besoknya saya menyodorkan penawaran senilai Rp 400 juta disertai perhitungan terperinci.
Kepala cabang bank tersebut sempat bertanya, "bapak pernah di bank?"
Pabrik lengkap diperoleh senilai di atas ditambah "traktiran kopi" sebesar Rp 10 juta kepada kepala cabang yang baik hati itu.
Taklama kemudian dilakukan upaya pembersihan pabrik yang sudah lama terbengkalai. Saya sampaikan perkembangan keberhasilan itu ke kantor, termasuk perolehan rumah yang direncakan akan menjadi kantor cabang perwakilan.
Pada hari berikutnya, saya beserta 2 kolega mendatangi rumah itu dengan maksud akan melakukan penyitaan atau pengambilalihan. Untuk keperluan itu, disiapkan sejumlah Rp 25 juta sebagai kompensasi kepada pemilik/penghuni.
Pemilik rumah, seorang Ibu renta pasrah menerima keputusan. Kemudian Ia bercerita panjang lebar. Suaminya pernah menjadi salah satu tokoh terkaya di daerah itu. Namun bangkrut dan pabriknya terbengkalai. Anak-anaknya mismanagement dalam perihal peminjaman uang kepada bank dengan jaminan pabrik dan rumah.
Kami ingin bertemu dengan Suaminya agar proses pengambilalihan berjalan lancar.
Ibu berkebaya itu masuk ke dalam dan mendorong seseorang di atas sebuah kursi roda.
Lumpuh tidak bergerak, kata-kata yang keluar dari mulutnya berupa gumaman. Hanya bola matanya yang bergerak, sinarnya lenyap menahan derita.
Penyakit stroke membuatnya demikian, menyerang setelah usahanya ambruk dan asetnya disita bank.
Saat itu pula saya merasa seperti di tepian tebing melihat ke jurang takberdasar. Gamang!
Gamang dalam memutuskan, antara mengeksekusi kebijakan perusahaan atau menuruti hati nurani yang mengedepankan kebajikan kepada sesama manusia.
Kami bertiga akhirnya menyerahkan uang kompensasi Rp 25 juta kepada Ibu dan Bapak yang tidak berdaya itu, berserta sertifikat rumah dan salinan keterangan bebas hutang. Lantas berlalu secepatnya.
Demikian, waktu itu nurani lebih mendeterminasi. Saya mendahulukan kebajikan kepada sesama daripada kebijakan perusahaan. Perihal pertanggungjawaban kepada kantor Jakarta akan dipikirkan kemudian, sebelum mata keburu bergerimis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H