Taklama kemudian dilakukan upaya pembersihan pabrik yang sudah lama terbengkalai. Saya sampaikan perkembangan keberhasilan itu ke kantor, termasuk perolehan rumah yang direncakan akan menjadi kantor cabang perwakilan.
Pada hari berikutnya, saya beserta 2 kolega mendatangi rumah itu dengan maksud akan melakukan penyitaan atau pengambilalihan. Untuk keperluan itu, disiapkan sejumlah Rp 25 juta sebagai kompensasi kepada pemilik/penghuni.
Pemilik rumah, seorang Ibu renta pasrah menerima keputusan. Kemudian Ia bercerita panjang lebar. Suaminya pernah menjadi salah satu tokoh terkaya di daerah itu. Namun bangkrut dan pabriknya terbengkalai. Anak-anaknya mismanagement dalam perihal peminjaman uang kepada bank dengan jaminan pabrik dan rumah.
Kami ingin bertemu dengan Suaminya agar proses pengambilalihan berjalan lancar.
Ibu berkebaya itu masuk ke dalam dan mendorong seseorang di atas sebuah kursi roda.
Lumpuh tidak bergerak, kata-kata yang keluar dari mulutnya berupa gumaman. Hanya bola matanya yang bergerak, sinarnya lenyap menahan derita.
Penyakit stroke membuatnya demikian, menyerang setelah usahanya ambruk dan asetnya disita bank.
Saat itu pula saya merasa seperti di tepian tebing melihat ke jurang takberdasar. Gamang!
Gamang dalam memutuskan, antara mengeksekusi kebijakan perusahaan atau menuruti hati nurani yang mengedepankan kebajikan kepada sesama manusia.
Kami bertiga akhirnya menyerahkan uang kompensasi Rp 25 juta kepada Ibu dan Bapak yang tidak berdaya itu, berserta sertifikat rumah dan salinan keterangan bebas hutang. Lantas berlalu secepatnya.
Demikian, waktu itu nurani lebih mendeterminasi. Saya mendahulukan kebajikan kepada sesama daripada kebijakan perusahaan. Perihal pertanggungjawaban kepada kantor Jakarta akan dipikirkan kemudian, sebelum mata keburu bergerimis.