"Kenapa Ayah menandatanganinya? Katanya teman Ayah itu tidak pernah mengangkat senjata."
Ayah mengangkat bahu, mengunyah sesendok nasi dengan tumis bayam dan sepotong tempe goreng.
"Ceritakan tentang perang pada zaman kemerdekaan."
"Lagi?" Ayah menaikkan kedua alisnya.
Aku mengangguk senang. Sudah kesekian kalinya mendengar kisah yang tidak pernah membosankan dari mulutnya.
Ayah mengalami empat zaman, yaitu: ketika masih dijajah Belanda, penguasaan oleh Jepang, masa kemerdekaan, dan berkuasanya rezim Orba.
Dalam masa penjajahan Belanda, Ayahku beruntung bisa bersekolah, karena kakekku seorang ambtenaar.
Menjelang pendudukan, orang-orang Jepang menyamar menjadi pedagang keliling. Ayah mengingatnya sebagai orang yang santun, menguasai bahasa setempat, dan cenderung supel. Beberapa kali mampir menawarkan barang dan berbincang-bincang dengan ramah.
Kelak, Ayah memahaminya sebagai kegiatan intelejen. Dan Ayah bertemu dengan salah satu pedagang keliling yang ternyata adalah seorang perwira militer negara matahari terbit.
Dalam masa perjuangan demi mempertahankan kemerdekaan, Ayah bergabung dengan sebuah laskar rakyat. Perjuangannya termasuk mengawal tawanan perang yang sebelumnya mengaku sebagai saudara tua dari bangsa Indonesia.
Laskar-laskar perjuangan yang berdiri sendiri itu kemudian disatukan dalam sebuah organisasi yang lebih solid, yaitu Barisan Keamanan Rakyat/Tentara Keamanan Rakyat yang kemudian bernama Tentara Rakyat Indonesia. Itulah cikal bakal lahirnya Tentara Nasional Indonesia.