Dikutip dari Antara, Bareskrim Polri kembali memeriksa tersangka RS, Direktur PT. APM.Â
Perusahaan itu memasok cairan pembersih lantai yang mengakselerasi api hingga menjalar ke seluruh Gedung Utama Kejaksaan Agung. Diduga cairan pembersih yang ada di setiap lantai itu mengandung bahan fraksi solar dan thinner yang mudah terbakar.
Kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung terjadi pada tanggal 22 Agustus 2020 diduga akibat kelalaian.Â
Api yang bermula dari aula Biro Kepegawaian di lantai 6 ditimbulkan oleh kecerobohan para pekerja yang sedang melaksanakan renovasi. Puntung rokok menyalakan api pada bahan-bahan mudah terbakar seperti thinner, lem aibon, wallpaper.
Menurut keterangan, kegiatan renovasi tersebut bukan proyek resmi Kejagung, tapi timbul atas kepentingan pribadi salah seorang staf Kejagung.
Rasanya janggal, seorang staf "mau" merenovasi tempat/ruang dalam gedung yang notabene milik negara dengan menggunakan uang pribadi.Â
Kalaupun tidak, prosedur pekerjaan konstruksi tersebut dianggap tidak mematuhi ketentuan pengadaan barang dan jasa. Padahal lembaga hukum itu sudah sepatutnya taat hukum.
Proyek pribadi pada gedung pemerintah tidak bisa dinalar, menurut hemat saya yang pernah berhubungan dengan proyek pemerintah.
Kenyataan itu menyisakan tanda tanya di benak Host & Produser Eksekutif Program AIMAN KompasTV, Aiman Witjaksono.
Selain ihwal pekerjaan renovasi yang ilegal dan tidak dianggarkan, Pria berkacamata itu mempertanyakan fakta lain yang belum terungkap, yakni soal api merambat cepat yang konon diakselerasi oleh cairan pembersih lantai. Padahal menurut pengujiannya, ternyata cairan tersebut tidak mudah terbakar. Fakta ketiga adalah hilangnya rekaman CCTV dan rusaknya alat perekam karena terbakar.
Artikel ini tidak mengulas 3 fakta yang belum terungkap itu. Ada pihak-pihak yang lebih kompeten untuk mengelaborasinya.
Dalam kasus kebakaran Gedung Kejagung itu, diperiksa juga konsultan perencana pemasangan Alumunium Composite Panel (ACP). Juga perusahaan penyedia jasa pemasangan ACP, yang mangkir dari panggilan Bareskrim.
Oleh karenanya, pekerjaan renovasi (interior?) dan pemasangan ACP masuk dalam kegiatan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi dikelola dengan memperhatikan standar dan ketentuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pekerjaan tersebut meliputi rangkaian kerja yang kompleks, menyangkut pengadaan bahan bangunan, peralatan, penerapan teknologi, dan pelibatan tenaga kerja.
Rangkaian itu merupakan sumber terjadinya kecelakaan kerja.
Peraturan perundang-undangan  mengamanatkan, K3 dibentuk karena kehendak agar terhindar dari: bahaya, kerugian material, memenuhi ketentuan, dan adanya tuntutan umum.
Renovasi interior dan pemasangan ACP di Gedung Kejagung adalah pekerjaan konstruksi yang berpotensi menimbulkan bahaya. Dugaan selintas, terdapat sumber bahaya kimia, kebakaran, dan risiko jatuh dari ketinggian.
Potensi bahaya tersebut biasanya diketahui persis oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), penyedia jasa, dan konsultan perencana serta pengawas.
Kemungkinan timbulnya risiko, sudah diketahui dari sejak proses pemilihan, di mana penyedia jasa harus membuat dokumen Rencana K3 Kontrak (RK3K).
Semua rincian mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan persyaratan K3, yang dapat dengan mudah ditemukan di mesin pencari,
Setelah menang, penyedia jasa wajib menyempurnakan/melengkapi identifikasi bahaya, penilaian risiko dan pengendalian risiko yang didiskusikan pada saat rapat persiapan pelaksanaan kontrak/Pre Construction Meeting (PCM). Forum PCM dihadiri PPK, penyedia jasa, dan konsultan pengawas.
Berdasarkan gambaran di atas, pembentukan K3 Konstruksi memiliki sasaran akhir berupa zero fatal accident alias nihil kecelakaan kerja yang fatal, tidak terkecuali pada proyek di lingkungan Kejaksaan Agung.
Kesimpulan
Mengenyampingkan dugaan adanya proyek ilegal di lembaga sekelas Kejaksaan Agung dan mengasumsikan bahwa institusi penegakan hukum itu taat hukum, K3 Konstruksi --mestinya-- telah diterapkan secara seksama pada proyek yang sedang dilaksanakan.
Sehingga dengan penerapan aturan K3, risiko-risiko kecelakaan kerja bisa dikendalikan dengan menggunakan hirarki pengendalian: eliminasi, substitusi, rekayasa, pembenahan administrasi, penggunaan alat pelindung diri (APD).
Dengan itu kebakaran dahsyat yang meluluhlantakkan Gedung Utama Kejaksaan Agung yang baru lalu seharusnya dapat dihindari.
Atau memang lembaga penegakan hukum itu tidak taat hukum?
Atau....?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI