Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mesin Jahit Bertenaga Listrik

21 Oktober 2020   20:19 Diperbarui: 21 Oktober 2020   20:23 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mesin jahit (foto oleh Budi Susilo)

Waktunya sudah tiba untuk segera beranjak, serombongan orang sudah menantinya. Sekali lagi Baskoro memandang pilu lalu menyentuhnya dengan lembut. Berusia setengah abad, mesin jahit berwarna krem itu dibawa oleh almarhum bapaknya, setelah menyelesaikan pendidikan lanjutan di Amerika.

Mesin jahit bertenaga listrik merupakan sebuah kemewahan sebelum kulkas dan televisi bisa dibeli. Kala itu, sesudah mandi sore, Baskoro dan anak-anak lainnya berkumpul di rumah Pak Dahlan, satu-satunya tetangga yang memiliki TV hitam putih di kampung itu.

Di kampung halaman itulah selama beberapa hari terakhir Baskoro berada, menginap di rumah peninggalan orang tuanya. Selama itu pula ia terkenang dengan teladan-teladan, ajaran-ajaran, dan pesan-pesan bapak ibunya.

Meskipun bapaknya berkedudukan lumayan di sebuah instansi pemerintah, beliau hidup dengan sangat sederhana, semata-mata mengandalkan dari gaji. 

Jangan bandingkan pendapatan pegawai negeri waktu itu dengan pegawai masa kini yang makmur tapi sebagian tidak pernah merasa puas. Jangan pula berpikir, bahwa semua benda diperoleh dengan kredit.

"Hidup itu jangan ngoyo. Jangan memaksakan kehendak, memenuhi semua keinginan dengan cara curang. Berlaku curang akan membuat hidupmu kosong melompong dan menyakitkan."

Wejangan itu diwujudkan dalam tauladan sehari-hari, takada hidup yang bergelimang harta benda. Satu-satunya tempat tinggal adalah bekas rumah dinas yang dibeli oleh bapaknya dengan cara mengangsur kepada negara.

Mesin jahit dibeli kontan dari sisa uang saku yang dikumpulkannya selama di luar negeri. Sekian tahun kemudian, kulkas, lalu TV hitam putih, kemudian sepeda motor bebek dibeli tunai dari hasil menabung.

Ibunda Baskoro mengamini gaya hidup bersahaja itu. Wanita pendiam itu berprinsip, yang penting anak-anak bisa cukup makan dan bersekolah sampai perguruan tinggi.

Maka mesin jahit bertenaga listrik menjadi benda andalan ibunda dari Baskoro. Dengan itu ia merepasi baju-baju agar tahan lama dipakai. Misalnya, kerah hem yang getas, karena sering disikat demi menghilangkan daki, akan dibaliknya sedemikian rupa sehingga baju tersebut dapat digunakan lagi.

Mesin jahit bertenaga listrik itu juga berjasa menjahit baju-baju pesanan ibu-ibu tetangga, tentunya dengan penggantian uang jasa sejumlah tertentu. Tambahan pendapatan tersebut menjadi uang saku bagi Baskoro dan dua adiknya.

Bagaimana dengan kesenangan ibunya, seperti makannya, pemenuhan atas barang-barang konsumsi, dan kebutuhan sosialnya? Baskoro tidak pernah mengetahui hal itu. Almarhumah ibunya tidak pernah mengeluhkan tentang apapun.

Baskoro duduk di depan meja di mana mesin jahit bertenaga listrik tersebut berada di atasnya. Ia merenungkan semua nasehat, ajaran berupa tauladan dan pesan orang tuanya agar tidak memaksakan kehendak lalu berbuat curang demi memenuhi keinginan. Hidup apa adanya dan tidak ngoyo.

Dadanya sesak, menyesali ketidakmampuannya untuk memberikan kesenangan kepada orang tuanya. Ajal keburu menjemput mereka. Bukan karena tidak cukup untuk itu, bahkan ia bisa memberikan kelimpahan tiada batas kepada orang tuanya.

Sebagai pejabat sebuah instansi pemerintah, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana, Baskoro bisa mendapatkan segalanya. Jabatan itu diperolehnya dengan tidak mudah. Didikan orang tua untuk menekuni sebuah pekerjaan dan perjuangan kerasnya telah mendorongnya untuk menempati kursi empuk itu.

Baru sekarang ia merasa, bahwa selama ini telah abai. Penyesalan yang teramat mendalam telah menggerogoti relung-relung di dada.

Mendung di wajah Baskoro kian merundung. Sekali lagi, ia menyentuh dengan lembut mesin jahit bertenaga listrik dan dengan lirih mengucapkan selamat tinggal.

Seorang berseragam mengingatkannya, "mari Pak, waktunya untuk berangkat! Mobil jemputan sudah datang."

Baskoro menyeret kakinya meninggalkan rumah yang penuh kenangan, melangkah masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hijau tua.

Pria itu menitikkan air mata, saat ini ia merasa hidupnya kosong melompong dan menyakitkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun