Bagaimana dengan kesenangan ibunya, seperti makannya, pemenuhan atas barang-barang konsumsi, dan kebutuhan sosialnya? Baskoro tidak pernah mengetahui hal itu. Almarhumah ibunya tidak pernah mengeluhkan tentang apapun.
Baskoro duduk di depan meja di mana mesin jahit bertenaga listrik tersebut berada di atasnya. Ia merenungkan semua nasehat, ajaran berupa tauladan dan pesan orang tuanya agar tidak memaksakan kehendak lalu berbuat curang demi memenuhi keinginan. Hidup apa adanya dan tidak ngoyo.
Dadanya sesak, menyesali ketidakmampuannya untuk memberikan kesenangan kepada orang tuanya. Ajal keburu menjemput mereka. Bukan karena tidak cukup untuk itu, bahkan ia bisa memberikan kelimpahan tiada batas kepada orang tuanya.
Sebagai pejabat sebuah instansi pemerintah, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana, Baskoro bisa mendapatkan segalanya. Jabatan itu diperolehnya dengan tidak mudah. Didikan orang tua untuk menekuni sebuah pekerjaan dan perjuangan kerasnya telah mendorongnya untuk menempati kursi empuk itu.
Baru sekarang ia merasa, bahwa selama ini telah abai. Penyesalan yang teramat mendalam telah menggerogoti relung-relung di dada.
Mendung di wajah Baskoro kian merundung. Sekali lagi, ia menyentuh dengan lembut mesin jahit bertenaga listrik dan dengan lirih mengucapkan selamat tinggal.
Seorang berseragam mengingatkannya, "mari Pak, waktunya untuk berangkat! Mobil jemputan sudah datang."
Baskoro menyeret kakinya meninggalkan rumah yang penuh kenangan, melangkah masuk ke dalam sebuah mobil berwarna hijau tua.
Pria itu menitikkan air mata, saat ini ia merasa hidupnya kosong melompong dan menyakitkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H