Sedangkan ikan asin gabus tidak langsung digoreng begitu saja, tetapi terlebih dahulu dicuci dengan air panas (dileop, dalam bahasa Sunda). Lantas ditiriskan dan dijemur sebentar.
Setelah itu dipanggang di atas bara api sampai merata. Angkat setelah cukup kering, jangan sampai terlalu gosong. Ikan asin gabus kering kemudian digeprek, asal gepeng dijaga jangan sampai hancur, lalu digoreng sampai kecoklatan.
Membuat Sambal
Dengan menggunakan seng atau pelat besi, tomat hijau, cabe hijau, cabe rawit hijau, bawang merah, bawang putih, terasi dipanggang di atasnya. Biarkan sampai layu dan tercium aroma harum. Kemudian semua bahan digerus kasar. Tambahkan air perasan jeruk limau atau nipis.
Menurut Pak RW dan beberapa warga yang ikut makan, ikan asin gabus yang diolah ala saya rasanya gurih, lembut dan ngeprul di dalam mulut. Rasa yang jauh lebih enak dibanding digoreng dengan cara biasa. Terasa seperti keju.
Mereka juga memuji jengkol yang diolah secara bersahaja. Agak kenyal, tidak empuk seperti disemur atau direndang, tetapi rasanya sangat legit. Gurih dan aroma asam jengkolatnya menguar. Apalagi dilahap dengan sambal yang pedasnya "menggigit" ditambah dengan lalap. Olahan jengkol menjadi makanan favorit pada hari itu.
Dua tiga kali tambah nasi hangat. Semilir angin pinggir sawah berkesiur, menambah rasa nikmat. Perut membuncit tapi mulut enggan berhenti memamah. Rasa malulah yang akhirnya menghentikannya.
Selesai makan, sayapun menyampaikan maksud, yakni hendak memberikan sejumlah  uang imbalan kepada warga yang nantinya akan terganggu dengan adanya kegiatan pembangunan gedung pemerintah itu. Kalau setuju, saya bisa menyediakan setengahnya pada saat itu juga.
Dengan cepat Pak RW menyetujui usulan tersebut di hadapan warga. Perundingan untuk meyakinkan Pak RW yang diduga akan berjalan alot, ternyata berjalan lancar.
Pak RW dan warga merasa senang. Saya tersenyum lebar karena nilai yang diusulkan jauh di bawah perkiraan semula. Semua pihak bergembira.