Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Diplomasi Jengkol dan Ikan Asin Rasa Keju

3 Oktober 2020   07:23 Diperbarui: 11 Oktober 2020   12:35 1709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jengkol sebelum diolah dan tungku kayu bakar (dokumen pribadi)

Biasanya diplomasi berkenaan dengan istilah dalam hubungan internasional. Namun dalam kehidupan sehari-hari diplomasi bisa berarti kecakapan atau seni berunding untuk memperoleh kesepakatan terbaik bagi kedua belah pihak.

Suatu ketika jengkol dan ikan asin menjadi alat memuluskan sebuah perundingan. Bahan pangan berharga terjangkau tersebut  berperan sebagai peredam ketegangan dua pihak berkepentingan.

Syahdan pihak kontraktor harus segera mewujudkan amanat Surat Perintah Kerja (kontrak) pembangunan sebuah fasilitas di suatu daerah. Sementara pihak warga setempat merasa terganggu (bising, debu, dan sebagainya) dengan adanya proyek konstruksi itu dan, biasanya, meminta biaya kompensasi.

Pada sebuah siang yang terik, seorang warga dengan wajah ditekuk meminta penanggungjawab proyek untuk datang ke rumah Pak RW. Selain tokoh masyarakat, ia dikenal sebagai jeger)*. Saya menyanggupinya, sekaligus berniat membicarakan imbalan bagi warga dengan adanya kegiatan proyek.

Sesampainya di tempat tujuan, Pak RW langsung marah-marah. Menggebrak meja, lalu menantang berkelahi. Belasan "anak buahnya" bersiap di luar rumah. Ia mengancam akan menghentikan kegiatan proyek. Saya diam saja mendengar semua ocehannya.

Menurut pengalaman, sikap galak itu merupakan gertakan agar pihak proyek mengeluarkan biaya kompensasi lebih besar.

Keesokan harinya saya datang lagi. Pak RW menyatakan menyesal, kemarin telah marah-marah., wajah saya terbawa sampai dalam mimpi. Iapun memeluk saya sambil meminta maaf. Namun demikian, perbincangan berkembang dalam suasana kaku. 

Demi mencairkan keadaan,`saya merogoh kantong dan meminta agar dibelikan perlengkapan berupa: beras, ikan asin gabus, tempe dan tahu, kerupuk, bahan lalapan, bahan sambal, serta jengkol. Kemudian bahan-bahan tersebut diolah. Beras ditanak. Tempe dan tahu digoreng. Sayur sebagian direbus, sebagian lagi dibiarkan mentah tapi dicuci bersih. Jengkol dan ikan asin diolah menurut cara saya , sebagai berikut:

Mengolah Jengkol

Jengkol yang cukup tua digoreng sampai matang. Angkat dan tiriskan. Dalam keadaan jengkol masih panas taburi garam yang akan meleleh di atasnya.

Menggoreng Ikan Asin Gabus

Sedangkan ikan asin gabus tidak langsung digoreng begitu saja, tetapi terlebih dahulu dicuci dengan air panas (dileop, dalam bahasa Sunda). Lantas ditiriskan dan dijemur sebentar.

Setelah itu dipanggang di atas bara api sampai merata. Angkat setelah cukup kering, jangan sampai terlalu gosong. Ikan asin gabus kering kemudian digeprek, asal gepeng dijaga jangan sampai hancur, lalu digoreng sampai kecoklatan.

Membuat Sambal

Dengan menggunakan seng atau pelat besi, tomat hijau, cabe hijau, cabe rawit hijau, bawang merah, bawang putih, terasi dipanggang di atasnya. Biarkan sampai layu dan tercium aroma harum. Kemudian semua bahan digerus kasar. Tambahkan air perasan jeruk limau atau nipis.

Sebagian hidangan disajikan di saung pinggir sawah (dokumen pribadi)
Sebagian hidangan disajikan di saung pinggir sawah (dokumen pribadi)
Nasi hangat, tempe dan tahu, ikan gabus, jengkol, lalapan, sambal dan tentunya kerupuk sudah terhidang di saung pinggir sawah. Saatnya menyantap makanan.

Menurut Pak RW dan beberapa warga yang ikut makan, ikan asin gabus yang diolah ala saya rasanya gurih, lembut dan ngeprul di dalam mulut. Rasa yang jauh lebih enak dibanding digoreng dengan cara biasa. Terasa seperti keju.

Mereka juga memuji jengkol yang diolah secara bersahaja. Agak kenyal, tidak empuk seperti disemur atau direndang, tetapi rasanya sangat legit. Gurih dan aroma asam jengkolatnya menguar. Apalagi dilahap dengan sambal yang pedasnya "menggigit" ditambah dengan lalap. Olahan jengkol menjadi makanan favorit pada hari itu.

Dua tiga kali tambah nasi hangat. Semilir angin pinggir sawah berkesiur, menambah rasa nikmat. Perut membuncit tapi mulut enggan berhenti memamah. Rasa malulah yang akhirnya menghentikannya.

Selesai makan, sayapun menyampaikan maksud, yakni hendak memberikan sejumlah  uang imbalan kepada warga yang nantinya akan terganggu dengan adanya kegiatan pembangunan gedung pemerintah itu. Kalau setuju, saya bisa menyediakan setengahnya pada saat itu juga.

Dengan cepat Pak RW menyetujui usulan tersebut di hadapan warga. Perundingan untuk meyakinkan Pak RW yang diduga akan berjalan alot, ternyata berjalan lancar.

Pak RW dan warga merasa senang. Saya tersenyum lebar karena nilai yang diusulkan jauh di bawah perkiraan semula. Semua pihak bergembira.

Apakah karena pengaruh rasa nikmat akibat melahap jengkol yang legit dan ikan asin gabus yang terasa seperti keju?

Bisa jadi rasa lemak pada pengecapan dan rasa puas dalam pencernaan telah mendamaikan hati Pak RW. Penyegaran melalui makan siang bersama yang melapangkan dada, dan tentunya mengenyangkan, akhirnya menghadirkan imbas yang mustajab.

Yang pasti, sejak peristiwa itu rekan-rekan kerja menyebutnya: diplomasi jengkol dan ikan asin rasa keju!

)* bahasa Sunda, yang berarti jagoan atau jawara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun