Komunitas terbentuk karena anggotanya memiliki sebuah kesamaan, apakah itu visi yang sehati, hobi yang sama, atau identitas yang seragam.Â
Di luar alasan-alasan tersebut ada faktor lain yang mendorong orang untuk berkumpul, berkomunitas, bahkan membangun sebuah organisasi yang mampu bertahan lama.
Semasa masih di padepokan, kendaraan yang saya gunakan kerap menjadi bahan tertawaan anggota sebuah komunitas. Mobil harian, berkapasitas 1.200 cc produksi tahun 1962, itu dianggap tidak elok disandingkan dengan rekannya. Kondisi apa adanya, kalau tidak mau dibilang butut.
Sementara mobil sejenis dan nyaris seumur, buatan tahun 1964, lebih mentereng karena sudah direhabilitasi total. Berwarna hijau pupus mengkilap. Mesin dilengkapi onderdil kompetisi dan ditingkatkan kapasitasnya menjadi 1800 cc, sehingga mampu membangkitkan tenaga yang dahsyat.
Lengkap sudah tunggangan saya disebut: kecil, lamban, dan buruk rupa (small, slow, and ugly).
Saya memiliki ketakutan berlebih, bahwa anggota komunitas yang berada di Jakarta pun memiliki karakter serupa. Cenderung memandang rendah kepada "orang baru" yang mengendarai kendaraan butut, meskipun hobinya sama: penyuka Volkswagen (VW).
Merasakan perlakuan itu, saya pun menyimpan "dendam".
Sekitar tahun 1989-1990, saya mengumpulkan pengguna VW sekota Bogor. Terkumpul 6 VW kodok (Tipe 1) di seberang Tugu Kujang, sewaktu belum ada bangunan mal tersohor. Pertemuan berlangsung setiap minggu dan peminatnya bertambah.
Tidak sampai 1 bulan, terkumpul 25 orang penggemar VW. Acara bukan sekadar nongkrong, tetapi berkeliling kota. Pengikut kian hari kian bertambah.
Menanggapi antusiasme penggemar, dibuatlah pertemuan lebih serius. Membahas kelanjutan komunitas.Â
Awalnya saya tidak berniat membuat organisasi otomotif resmi. Pengalaman dan perlakuan Club VW di kota lain tidak mengenakkan bagi saya. Jangan sampai orang lain mengalami hal serupa.
Namun desakan dari floor semakin kuat. Akhirnya saya menyerah, organisasi boleh dibentuk sepanjang bukan menjadi ajang perundungan antar sesama penggemar dan tentunya, bukan saya yang menjadi pengurus.
Kumpulan orang-orang pecinta mobil berpendingin udara itu sepakat. Seharian diadakan sidang, membicarakan AD/ART, nama organisasi, dewan pembina dan seterusnya.
AD/ART terbentuk. Nama organisasinya adalah: Bogor Volkswagen Club (BVC). Di jajaran dewan pembina tercantum: Wali Kota, Kapolres, Dandim, Angki Camaro (Alm.), dan para sesepuh (saya lupa).Â
Lalu diadakan pemilihan Ketua sekaligus penanggung jawab. Tidak ada satupun peserta yang bersedia menjadi Ketua Umum untuk pertama kalinya.
Semua mata memandang, dan secara aklamasi menunjuk saya sebagai Ketua. Desakan yang tidak bisa ditolak. Apa boleh buat? Mau tidak mau jabatan itu dipangku.
Periode kepengurusan pertama adalah konsolidasi. Dasar keanggotaan BVC adalah adanya kesamaan minat, kesukaan, dan kebisaan menangani VW. Dengan itu, mereka yang menggemari mobil lucu itu bisa menjadi anggota, kendati belum memiliki kendaraannya.Â
Tidak mengherankan, ketika konvoi terdapat beraneka ragam kendaraan. VW kodok, Combi, Variant, Safari (181 thing), Golf MK1, Microbus Brazil, bahkan merek mobil lainnya seperti Peugeot, Toyota.Â
Di antara anggota juga terdapat mereka yang ahli mengatasi permasalahan kendaraan kuno ini dan mekanik profesional. Ya, orang bengkel yang bisa dan biasa mengutak-atik mobil bersuara mesin jahit tersebut.Â
Selain itu mulai memperkenalkan BVC ke organisasi serupa.
Seingat saya, belum banyak Club VW saat itu. Di Jakarta ada VVC (VW Van Club, organisasi penggemar VW tertua di Indonesia), VBC (VW Beetle Club). Di Bandung dikenal VCB (VW Club Bandung). Di kota-kota besar lainnya ada, kendati saya lupa.Â
Tetapi saya masih mengingat pencapain komunitas otomotif di kota hujan itu, di antaranya:
- BVC menjadi komunitas yang berkembang pesat dan dihormati keberadaannya.Â
- Ada 100 anggota ketika saya melepaskan jabatan, dua tahun sesudah terbentuk.
- Juga memiliki bengkel modern dan besar (bubar menjelang 1998 karena salah urus).
- Komunitas paling aktif diantara Club VW, tidak pernah absen dalam gelaran drag race dan one make race di Sentul serta senantiasa hadir dalam acara pameran, peresmian komunitas penggemar VW di kota lain dan kegiatan komunitas VW lainnya.
- Rajin melakukan kegiatan sosial.Â
Perkembangan 3 tahun terakhir saya sudah tidak mengikutinya. Tapi terinformasi, eksistensinya masih ada.
Dari kisah pengalaman berkomunitas di atas, dapat diperas saripati:Â
Bahwa komunitas terbentuk tidak hanya berdasarkan kesamaan visi, hobi, dan identitas yang dapat membentuk komunitas.
Tapi ada hal-hal yang akan lebih menguatkan ikatan dalam komunitas, seperti:
- Anggota komunitas berasal dari kesamaan minat dan kecintaan terhadap objek yang sama, meski belum dimiliki.
- Anggota juga berasal dari mereka yang mempunyai kebisaan dan kebiasaan menangani persoalan di sekitar benda kesayangan yang membentuk komunitas.
- Antar anggota tidak membandingkan kepemilikan anggota lainnya. Lebih jauh, tidak mengecilkan keadaan anggota atau penggiat lainya.
- Rutin mengganti kepengurusan. Suksesi ini selain menyegarkan kepemimpinan, juga memberikan kesempatan kepada anggota yang lebih muda dan berpotensi memajukan komunitas.
- Melakukan kegiatan-kegiatan sosial, hubungan baik dengan komunitas lain, dan aktivitas positif lainnya.
Lima kiat di atas merupakan pengikat kuat antar anggota.Â
Oleh karenanya komunitas diperlakukan sebagai wadah untuk menampung minat. Tidak eksklusif apalagi tinggi hati. Dengan demikian, sebuah kumpulan, komunitas, atau organisasi (bukan ormas) menjadi lebih langgeng keberadaannya dan juga dihargai oleh masyarakat.
Komunitas yang dibentuk karena "dendam" dan "ketidaksengajaan" itu masih ada sampai hari ini. Sebagai sistem ia menggelinding, ajeg mengusung semangat pada saat pembentukan pertama kali.
Semoga bermanfaat.
It's not a car. It's a Volkswagen!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H