Siapa sih yang tidak mengenal mie ayam? Disantap selagi masih mengepul. Kehangatannya menghadirkan kenikmatan, sekaligus kenangan. Seperti anu di tikungann. Aargh!
Lima atau enam tahun lalu, seorang kawan meminta bantuan. Customer service bank swasta itu mengajukan pensiun dini lantas berkeinginan membuka usaha.
Dengan berbagai pertimbangan, berdagang mie ayam dan bakso menjadi pilihan. Kesenangan memasak dan popularitas olahan itu menjadi acuan. Sekian bulan, saya memberikan arahan gratis, dari mulai pengolahan sampai pengelolaan.
Sayang, usaha yang telah dirintis selama setahun itu bubar, setelah diserahkan penanganannya kepada asistennya. Orang tua tunggal berputra satu itu lebih tertarik dengan usaha lain. Wanita berusia matang sedap dipandang tersebut terpikat dengan bisnis pemasaran berjenjang.
***
Sabtu pukul 10 saya berwisata di pelosok perkotaan. Bukan sawah atau hutan belantara. Tetapi rumah-rumah yang mengapit jalan sempit merupa pemandangan apik.
Kebersihan dan keramahan penghuninya merupakan daya tarik, bercampur dengan aneka jemuran dan warung-warung memajang aneka barang.
Bagi yang bermodal besar, mereka membuka toko kelontong. Bagi yang bermodal kecil, mereka membuka warung makanan dan minuman, seperti pecel, gorengan, nasi kuning (uduk), mie gaul, minuman segar dari bungkus sasetan.
Namun pada salah satu warung terlihat sebuah kotak plastik berisi gulungan.

Daripada penasaran, saya merapat dan bertanya, "jual mie ayam?"
"Betul," seorang bapak-bapak menjawab ramah.
"Pesan satu, jangan dibubuhi vetsin dan kecap serta saus."
Kurang dari 10 menit semangkuk mie ayam terhidang.
Penampilannya menggugah selera. Warna mie kekuningan wajar tanpa tambahan pewarna. Di atasnya ditaburi ayam, tidak terlalu coklat, berkisar 25 gram. Sayur sawi (caisim) tampak segar, tidak kelewat matang. Sambal tumis cabai rawit diletakkan pada sendok.
Dengan garpu saya mengait seuntai mi. Mengecapnya. Tidak kenyal, lembut dan terasa enak di lidah. Setelah itu, isi mangkuk diaduk rata. Mie ayam menggoyang lidah sehingga mangkuk kelihatan dasarnya, tanpa sisa. Gurih tanpa MSG, tanpa tambahan kecap dan saus.
Padahal sebelumnya saya sudah sarapan di rumah. Saya sampaikan pujian kepada sang penjual.
Pak Rizal, pemilik warung, mengaku menjual mie ayam baru 3 bulan terakhir. Kalau pagi, istrinya memanfaatkan warung itu untuk berdagang bihun goreng, mie glosor, gorengan, jus mangga dan jeruk.
Saya lihat dalam warung bergelantungan aneka kopi saset, bubuk jus, sampai sabun bubuk.

Tiba-tiba ingatan melayang ke masa silam, ketika mendampingi kawan pensiun dini dari pegawai menjadi pengusaha. Lalu sepotong kenangan itu saya sampaikan kepada Pak Rizal, tentang 2 versi penyajian mie ayam, menurut saya.
- Pertama, mie ayam dengan kuah disatukan dalam mangkuk. Biasanya ayam dimasak dengan berbagai bumbu khas Indonesia, berwarna kecoklatan karena dibubuhi kecap. Olahan yang dibuat berkuah itu dicampurkan ke dalam mie dan sayuran. Umumnya pedagang mie ayam menggunakan gaya penyajian seperti ini karena praktis.
- Kedua, kuah bening disajikan terpisah. Kuah adalah tulang ayam yang dimasak bersama bawang putih dan daun bawang (tidak dipotong) sampai reduce. Sedangkan daging ayam dimasak dengan kecap Inggris, kaldu ayam dan sedikit air. Diaduk sampai kering.
Daging ayam diletakkan di atas mie yang sudah diaduk dengan minyak ayam, kecap asin, dan merica. Ditambahkan sayur. Kaldu bening dan cenderung tawar (tidak bergaram) disajikan terpisah, dalam mangkuk lebih kecil.
Karena Pak Rizal menganut gaya pertama, saya menyarankan beberapa hal tambahan,
- Minyak ayam. Dibuat dari kulit dan lemak ayam (dipilih bagian dada) direbus dengan sedikit air sampai keluar minyaknya. Kemudian minyak tersebut dicampur minyak sawit yang masih baru. Campurannya bisa 1:10 atau tergantung selera. Fungsinya untuk menguatkan aroma ayam yang dapat merangsang air liur.
- Merica yang akan menguatkan aroma dan rasa mie ayam.
- Kecap asin kelas menengah. Kecap asin ini diaduk bersama minyak ayam dan merica. Aroma harum akan menguar ketika diaduk dengan untaian mie yang masih panas.
- Terakhir adalah tambahan irisan daun bawang (opsional).
Penampilan mie ayam Pak Rizal sudah cukup menarik. Topping ayam tidak terlalu coklat, warna dan rasanya pas. Dapat merangsang keinginan untuk segera mencicipinya. Rasanya pun lezat. Buktinya mie ayam habis tidak bersisa, menyisakan sendok, garpu, dan mangkuk kosong.
Perolehan Bahan
Pria brewok tersebut memperoleh bahan mie dari pasar. Di tempat jual beli tradisional tersebut terdapat satu bagian, yang merupakan pusat penjualan aneka perlengkapan mie dan bkaso.
Di sana dengan mudah dapat ditemukan: penjual daging lokal/impor; jasa penggilingan bakso; pembuat mie untuk mie ayam dengan kualitas bervariasi; sayur sawi (caisim); bumbu-bumbu, seperti saus, kecap dan sebagainya; perlengkapan untuk berdagang mie ayam dan bakso. Layaknya one stop shopping.
Menurut keterangan Pak Rizal, 1 kilogram mie dibagi menjadi 11 gulungan siap jual.
Akhirul Kata
Gabungan minyak ayam, merica, kecap asin, mi, sayur sawi, dan daun bawang dapat menguatan aroma khas mie ayam. Aroma dan penampilan menegaskan rasa, yang mampu mengundang selera dari calon pembeli. Dengan itu diharapkan dapat meningkatkan penjualan mie ayam Pak Rizal. Tentunya diikuti dengan ketekunan.
Bagi teman-teman yang berniat merambah bisnis mie ayam atau bakso, atau gabungan keduanya, ada baiknya meninjau sentra penjualan bahan-bahannya, yang biasanya ada di pasar tradisional, untuk mendapat gambaran. Berbagai bahan dengan kualitas dan harga beragam tersedia.
Kenangan tidak senantiasa memilukan, tetapi bisa diurai menjadi saran, yang semoga bermanfaat bagi Pak Rizal.
Pun bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Mudah-mudahan.
***
"Berapa pak?"
"Delapan ribu rupiah. Kalau hari Jumat Rp 5 ribu."
"Hah...???"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI