Daripada penasaran, saya merapat dan bertanya, "jual mie ayam?"
"Betul," seorang bapak-bapak menjawab ramah.
"Pesan satu, jangan dibubuhi vetsin dan kecap serta saus."
Kurang dari 10 menit semangkuk mie ayam terhidang.
Penampilannya menggugah selera. Warna mie kekuningan wajar tanpa tambahan pewarna. Di atasnya ditaburi ayam, tidak terlalu coklat, berkisar 25 gram. Sayur sawi (caisim) tampak segar, tidak kelewat matang. Sambal tumis cabai rawit diletakkan pada sendok.
Dengan garpu saya mengait seuntai mi. Mengecapnya. Tidak kenyal, lembut dan terasa enak di lidah. Setelah itu, isi mangkuk diaduk rata. Mie ayam menggoyang lidah sehingga mangkuk kelihatan dasarnya, tanpa sisa. Gurih tanpa MSG, tanpa tambahan kecap dan saus.
Padahal sebelumnya saya sudah sarapan di rumah. Saya sampaikan pujian kepada sang penjual.
Pak Rizal, pemilik warung, mengaku menjual mie ayam baru 3 bulan terakhir. Kalau pagi, istrinya memanfaatkan warung itu untuk berdagang bihun goreng, mie glosor, gorengan, jus mangga dan jeruk.
Saya lihat dalam warung bergelantungan aneka kopi saset, bubuk jus, sampai sabun bubuk.
Tiba-tiba ingatan melayang ke masa silam, ketika mendampingi kawan pensiun dini dari pegawai menjadi pengusaha. Lalu sepotong kenangan itu saya sampaikan kepada Pak Rizal, tentang 2 versi penyajian mie ayam, menurut saya.
- Pertama, mie ayam dengan kuah disatukan dalam mangkuk. Biasanya ayam dimasak dengan berbagai bumbu khas Indonesia, berwarna kecoklatan karena dibubuhi kecap. Olahan yang dibuat berkuah itu dicampurkan ke dalam mie dan sayuran. Umumnya pedagang mie ayam menggunakan gaya penyajian seperti ini karena praktis.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!