Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memaknai Pidato Jokowi dalam Sidang Tahunan

16 Agustus 2020   20:15 Diperbarui: 16 Agustus 2020   20:19 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam rangka penyampaian laporan kinerja lembaga-lembaga negara dan pidato dalam rangka HUT ke-75 Kemerdekaan RI pada sidang tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/8/2020). Kepala Negara memilih menggunakan pakaian adat Sabu, Nusa Tenggara Timur, pada sidang tahunan yang digelar di tengah pandemi Covid-19 kali ini.(ANTARA FOTO/AKBAR NUGROHO GUMAY)

Dalam Sidang Tahunan MPR/DPR-DPD RI, Presiden Jokowi menyampaikan seruan, "Target kita saat ini bukan hanya lepas dari pandemi, bukan hanya keluar dari krisis, langkah kita adalah melakukan lompatan besar, memanfaatkan momentum krisis yang sedang terjadi."

Selanjutnya ringkasan pidato kenegaraan itu, antara lain:

Transformasi Besar. Melakukan pembenahan fundamental, transformasi besar, dan menjalankan strategi besar yang meliputi bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, sosial, kebudayaan, kesehatan, dan pendidikan.

Perubahan etos kerja dan pola pikir: dari cara-cara biasa menjadi cara-cara luar biasa; dari prosedur panjang dan berbelit menjadi smart short cut; dari orientasi prosedur menjadi orientasi hasil. Perubahan itu menitikberatkan pada fleksibilitas, kecepatan, dan ketepatan. Sementara, pada saat bersamaan diprioritaskan: efisiensi, kolaborasi dan penggunaan teknologi.

Optimisme. Jokowi meyakini, selain lepas dari pandemi Covid-19 dan keluarga dari krisis multidimensi, langkah penting adalah melakukan lompatan besar dengan memanfaatkan momentum krisis.

Namun demikian, pengamat menganggap substansi pidato itu sebagai jargon politik semata. Peneliti dari Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, menyebut bahwa pidato itu utopis.

Katanya, hal itu tidak berlandas kepada berbagai kebijakan baru yang efektif mengatasi persoalan ekonomi akibat Covid-19. Belum ada strategi yang bisa diterapkan. Penanganan dan stimulus kesehatan dipandang tidak serius. Dan berbagai argumen yang meragukan pernyataan Jokowi.

Pidato Jokowi itu memang tidak semonumental "I Have a Dream" Martin Luther King. Pun tidak sedahsyat pidato John F. Kennedy yang melompatkan American Dream menjadi sebuah kekuatan moral tertinggi.

Pidato itu menyeru dan mengajak seluruh rakyat untuk menghadapi pandemi yang berdampak kepada krisis multidimensi: ekonomi, sosial, budaya, pangan, kesehatan dan keamanan.

Bisa jadi krisis sekarang lebih besar dibanding sebelumnya, 1988 (Black Monday), 1998 (Krisis Asia) dan 2008 (Krisis Mortgage).  IMF, dalam laporan Outlook Ekonomi Dunia baru lalu, mempersepsikan ancaman ekonomi terburuk setelah "Great Depression 1930," di mana pengangguran, kemiskinan dan kelaparan meluas.

Meski tinjauan itu dibuat dalam kerangka implementasi neoliberalisme ke negara-negara debitur seluruh dunia, menurut nalar paradigma dependensia.

Pada kenyataannya, pandemi telah membuat kita berkegiatan di rumah dan mengurangi mobilitas secara dramatis. Kemudian melahirkan krisis multidimensi. Kendati belakangan sudah ada relaksasi demi melawan ancaman keruntuhan ekonomi, namun tindakan itu tidak serta merta menyembuhkannya.

Terlepas dari rasionalitas para pengamat, maka Saya --sebagai "pecahan genteng" dari bangunan raksasa yang bernama Republik Indonesia-- memiliki penafsiran tersendiri.

Oh ya, genteng sendirian adalah komponen kecil pembentuk bangunan. Pecahan genteng, karena kemampuan fisik Saya sudah berantakan semenjak terserang penyakit kronis. Saya sudah tidak bisa berkegiatan seperti semula, menjelang pandemi muncul.

Maka Saya memaknai pidato Jokowi sebagai ajakan membangun etos kerja atau serangkaian cara kerja baru, meninggalkan cara kerja lama. Ia bisa menjadi breakthrough, terobosan cara yang timbul di atas kebuntuan penanganan Covid-19 beserta akibatnya.

Breakthrough biasanya muncul dari keadaan yang sedemikian menekan, dengan menggulingkan kebiasaan dan cara pikir lama (business as usual) seperti: inefisiensi; prosedur lamban dan panjang, rigiditas proses, kultur "jika bisa dipersulit, mengapa dibuat gampang", dan budaya penghambat lainnya.

Mungkin banyak orang lebih suka mengharapkan penguraian substansi pidato itu. Menunggu juklak-juknisnya, sampai kemudian segalanya menjadi terlambat. Saya meyakini substansi pidato Jokowi akan diurai oleh lembaga-lembaga di bawahnya, dari mulai menteri, lembaga sampiran, kepala daerah, dan seterusnya.

Mengenyampingkan itu, sebagai komponen terkecil bangsa dan negara, Saya memaknai pidato itu dalam kehidupan sehari-hari yang telah dilakoni selama ini, sebagai berikut:

  1. Doing business not as usual. Sebab keterbatasan, Saya mengurangi interaksi fisik dan menggantinya dengan kegiatan melalui email, WA, dan saluran lainnya. Saya tidak terlibat lagi dalam kegiatan yang menguras tenaga. Menggantinya dengan kegiatan, seperti perantaraan, technical advisory untuk proyek yang akan dan sedang dikerjakan teman, berkebun ringan, menulis apapun di platform manapun, dan pekerjaan lain dalam ruang kemampuan.
  2. Meningkatkan penggunaan produk lokal. Praktek sederhananya, misalnya mengurangi konsumsi makanan berbahanbaku impor (seperti tepung terigu). Meningkatkan konsumsi pangan dari halaman rumah atau dari produk domestik. Berkebun dengan menanam daun bawang, cabai, umbi-umbian, dan lainnya semuatnya lahan. Walaupun tindakan itu sebutir pasir, namun ia turut menjaga ketahanan pangan.
  3. Mematuhi protokol kesehatan dan saran-saran lain demi memutus mata rantai penyebaran coronavirus. Mengabaikan berita hoax terkait Covid-1 dan tetap berpikir positif, bahwa setiap permasalahan ada jalan keluarnya.

Itulah perilaku adaptif yang Saya lakukan sebagai pecahan genteng. Saya melakukannya berdasarkan common sense sederhana, dari apa yang terlihat di depan mata dan segera bisa dilakukan.

Pecahan genteng tidak bakal menjadi penutup bangunan, hanya menjadi puing pemadat lantai.

Bagi mereka yang berada di tataran lebih hebat dan utuh, sudah semestinya perilaku atau skala tindakannya akan lebih kompleks. 

Bukan ihwal keliru dan sia-sia ketika sebagian orang menunggu deskripsi dari pidato Jokowi, tetapi tidak ada salahnya terlebih dahulu bergerak maju, lalu mewujudkannya dengan memaknai substansi pidato itu sambil menunggu penjabaran.

Atau barangkali ada yang mau berlaku seperti yang dimaksud dalam sebuah frasa teori evolusi, mengenai mekanisme seleksi alam: "mereka yang tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya lama kelamaan akan punah."

Semoga tidak demikian.

Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia

Sumber rujukan:  1, 2, 3, 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun