Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mumtaz Rais dan Kemerdekaan dari Arogansi

15 Agustus 2020   14:41 Diperbarui: 15 Agustus 2020   14:43 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baliho dengan wajah Mumtaz Rais terpasang di simpang tiga Gamping, Sleman(KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA)

Terbetik berita, terjadi cekcok antar penumpang pada penerbangan Garuda Indonesia rute Gorontalo-Makassar beberapa hari lalu (12/8/2020). Seorang penumpang, Nawawi Pomolango yang juga pimpinan KPK, menegur penumpang kelas bisnis lainnya, Ahmad Mumtaz Rais.

Namawi turut memperingatkan setelah Putra Amien Rais itu tak menghiraukan tiga kali peringatan awak pesawat. Mantan anggota DPR RI periode 2009-2014 dari PAN tersebut  menggunakan ponsel ketika pesawat sedang boarding dari Gorontalo dan saat melakukan pengisian bahan bakar (refueling).

Menurut keterangan yang diterima Kompas.com, "Hal tersebut mengakibatkan penumpang lain yang juga duduk di kelas bisnis turut menegur penumpang bersangkutan sehingga terjadi adu argumen antarpenumpang."

Persoalan tersebut belum berakhir, Nawawi melayangkan laporan kepada kantor kepolisian Bandara Internasional Soekarno-Hatta atas tindakan putra Amien Rais itu (15/8/2020).

Ketidakpatuhan Mumtaz yang dikabarkan akan bertarung dalam Pilkada Sleman tersebut mengingatkan pada peristiwa serupa, dilakukan oleh mantan Menteri Pemuda dan Olahraga era SBY. Tapi arogansi Roy Suryo berakhir dengan diusirnya tokoh itu oleh pilot dan penumpang lain pesawat Lion Air (26/3/2011).

Mungkin di antara selang waktu tersebut masih ada kisah senada, yakni sikap arogansi, sok berkuasa, dan mau enaknya sendiri terhadap tatanan yang sudah tetap dan disepakati oleh semua pengguna ruang publik. Mereka merupakan figur publik atau petinggi karena sifat jabatan, pernah menjadi pejabat, bakal pemimpin, atau sebab keturunan pemimpin/tokoh yang dimiliki banga dan negara ini.

Apapun alasan pembenarannya, bisa jadi muncul dari mereka yang  masih merindukan romantisme kekuasaan bak pada zaman monarki, di mana para priyayi memiliki privilege yang berada di atas awang-awang rakyat jelata. Pengkotak-kotakan kelas bangsawan di dalam negara (yang masih dianggapnya) feodalistik.

Kendati di negeri ini masih terdapat pengaturan kebangsawanan pada daerah tertentu, namun nuansanya jauh berbeda dibanding pada masa monarki masih menjadi sentral.

Pada masa kini, yang diperlukan oleh masyarakat modern adalah upaya-upaya mengorganisasi kehidupan bersama untuk berkembang lebih maju. Di dalamnya terdapat aturan-aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, pemahaman bersama, dan mengikat. Aturan yang pada akhirnya dipatuhi demi kepentingan bersama.

Dalam masyarakat yang memiliki dasar-dasar tatanan pelapisan sosial feodal, para birokrat tingkat tinggi memiliki kekuasaan yang besar dan tak tertandingi. Sebagaimana sifat elit pada umumnya, para birokrat tingkat tinggi biasanya cenderung akan mengembangkan hubungan intensif dengan anggota masyarakat lain dalam status tinggi (Mohtar Mas'oed). Menurut pemahan ini, tokoh berkuasa cenderung mengambil jarak dengan rakyat biasa

Namun demikian, dalam kenyataannya muncul  juga beberapa petinggi yang memperoleh kekuasaan, karena statusnya, posisinya dalam birokrasi, kekayaannya, maupun karena faktor keturunan menunjukkan sikap yang rendah hati.

Mereka adalah para figur publik dan petinggi yang menikmati status sosial tinggi dan memiliki kekuasaan besar, tetapi menggunakan kesempatan yang dimilikinya untuk melayani masyarakat yang dipimpinnya.

Dengan kata lain, bangsa dan negara ini layak memiliki pemimpin, wakil rakyat, dan tokoh-tokoh petinggi yang menjadi panutan. Tidak hanya mendahulukan kepentingannya, tetapi sikap ngemong melayani kepentingan publik. Bukan zamannya lagi untuk berlaku arogan.

Bangsa dan negara Indonesia sudah waktunya memerdekan diri dari tokoh-tokoh arogan, sok berkuasa, dan mau menangnya sendiri.

Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia.

Rujukan: 1, 2, dan Mohtar Mas'oed, Politik, Birokrasi, dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 1994.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun