Tersebab ajakan seorang kawan, saya mendaftar menjadi member Kompasiana pada bulan Februari 2011.
Sembilan tahun bergumul dengan media sosial berplatform blog itu, ternyata konten yang diunggah "sudah" mencapai 244 (dua ratus empat puluh empat) artikel!
Andai mampu membuat satu artikel dalam dua hari, maka mestinya sekarang sudah membukukan lebih dari 1.500 artikel. Paling tidak sudah termasuk ranking Penjelajah atau Fanatik. Dengan itu pula mungkin saya sudah terverifikasi jauh-jauh hari.
Namun status tersebut baru diperoleh pada bulan Mei baru lalu berdasarkan email dari Kompasiana.
Pada awal-awal bergabung, saya hanya membuat 24 artikel selama dua tahun. Sepanjang ingatan, saat itu belum ada label pilihan, namun sudah ada artikel Headline atau Artikel Utama yang biasanya diduduki oleh penulis berlatarbelakang akademisi, jurnalis, tokoh-tokoh politik dan lainnya, serta penggiat literasi tersohor.
Saya menulis untuk mengisi kanal fiksi atau even. Di kanal lain merasa gentar berdampingan dengan artikel para pesohor di atas. Untungnya ada kultur saling menyemangati di kalangan Kompasianer.
Setelah itu, saya tidak aktif dengan dalih tidak sempat karena kesibukan. Baru pada kuartal ke empat tahun 2019 saya menulis lagi di Kompasiana. Kesibukan sudah tidak ada, sehingga waktu melimpah.
Reputasi Kompasiana sebagai wadah penulis hebat masih tercetak di benak.
Saya pun merangkak belajar dari artikel-artikel para Kompasianer. Sedikit demi sedikit menggali pengetahuan tentang menulis, mulai mengejar kesetaraan dengan penulis lainnya. Beberapa artikel memperoleh label pilihan, bahkan sebagian masuk kategori Artikel Utama yang dahulu merupakan impian.
Belakangan saya merasakan daya cipta untuk menulis cenderung menurun, 3/4 artikel per-hari menjadi 1 artikel per 2 hari. Bahkan hanya 1 artikel dalam seminggu.
Kegiatan tulis menulis mengalami kebuntuan. Apa yang terjadi?
Every dark cloud has a silver lining
Muara kebuntuan dialamatkan kepada: keterbatasan fisik, menurunnya kemampuan kognisi menjelang lansia. Perlu diketahui, usia pertengahan (middle age 45-59) atau menjelang lansia adalah the beginning of the end alias tahap awal mendekati ketiadaan.
Sedikit banyak faktor-faktor tersebut membuat lemah semangat.
Di balik kelambu...eh...awan kelabu kebuntuan menulis, terbersit setitik harapan. Ternyata usia senja, keterbatasan fisik, dan merosotnya kemampuan kognitif hanyalah escape clauses, bukan alasan utama.
Harus diakui secara jujur, bahwa penghambat utama dalam produktivitas menulis  adalah rasa malas. Bahkan sejak awal bergabung dengan Kompasiana. Juga impian untuk menghasilkan karya yang luar biasa bagusnya.
Kenapa rasa malas penyebab kebuntuan tidak dipinggirkan saja? Mengapa ide-ide berkeliaran di kepala tetapi tidak diwujudkan dalam karya tulis?
Untuk mengalahkan kebuntuan itu, saya pun melakukan langkah-langkah relatif mudah dilakukan, sebagai berikut:
Menetapkan Standar Sendiri
Gagasan untuk menulis bergentayangan di kepala. Hanya saja saya tidak tahu bagaimana caranya membuat karya tulis itu nampak indah.
Bisa jadi karya tulis orang lain dijadikan parameter. Semestinya hasil karya penulis kawakan itu menjadi referensi bukan ukuran.
Kemudian, kurang motivasi bukanlah alasan. Lebih tepatnya: kurangnya kepercayaan diri. Daripada menjadikan karya tulis orang lain sebagai altar pemujaan, lebih elok apabila saya menentukan parameter sendiri.
Saya Menetapkan standar penulisan versi sendiri, sepanjang memenuhi kaidah-kaidah umum.
Idea Box / Kotak Gagasan
Baiklah. Saya mulai mengumpulkan gagasan-gagasan dalam sebuah idea box. Saya lupa siapa yang mengenalkan istilah ini.
Gagasan yang muncul agar segera dituliskan dalam notes atau catatan lain. Tidak penting jika formatnya berantakan, tidak beraturan, dan kurang sistematis, yang penting ide tersebut tidak lenyap terbawa angin.
Gagasan-gagasan itulah yang kemudian menjadi embrio karya tulis layak tayang. Layak tayang lho, bukan karya tulis yang sophisticated.
Penghalusan
Saya teringat tentang musisi-musisi hebat sekalipun tidak bisa membaca notasi. Atau pelukis terkenal yang bisa jadi tidak pernah mengikuti pendidikan seni formal.
Atau seperti penulisan puisi kendati menabrak tatanan gramatikal, namun indah. Kuncinya adalah konsistensi penciptaan dan penghalusan karya.
Menghasilkan karya tulis yang baik adalah semata-mata karena tehnik penghalusan. Baca berulang-ulang. Perbaiki berulang-ulang. Kemudian melakukan penghalusan berulang-ulang.
Keimpulan
Dengan demikian, kebuntuan dalam menulis bukanlah berasal dari tiadanya atau macetnya ide. Tetapi dari kemalasan, yang --menurut hemat saya---dapat dikikis dengan menerapkan ketiga langkah praktis: menetapkan standar sendiri, idea box gagasan, dan penghalusan.
Setelah melalui babak kebuntuan menulis, saya mulai membangun sebuah tulisan. Ide Box dibongkar untuk menemukan gagasan, merakitnya menjadi sebuah bangunan tulisan dan kemudian merapikannya.
Satu gagasan atau lebih dapat membentuk sebuah karya tulis menurut standar sendiri dengan penghalusan tertentu.
Jadilah artikel curhatan sederhana ini.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H