Sebuah panggilan kerja dari sebuah perusahaan besar di ibukota merupakan kesempatan langka bagi seorang pemuda kota kecil, sekaligus mengubah hidupku.
Setelah sekian purnama, setelah malang melintang di ibukota, Aku berkesempatan pulang untuk merayakan keberhasilan. Perubahan itu telah kuraih. Aku ingin meletupkan rasa yang mengembang di dada.
Aku ingin menunjukkan pendar-pendar metropolitan kepada semua tetangga, kerabat, dan orang-orang yang akan berkunjung menyambut kedatanganku.
Juga ingin memamerkan kepada sang pemilik senyum menawan penghuni rumah di tikungan jalan, yang sebentar lagi akan kulalui, tentang perubahanku yang membahagiakan.
Berita bahagia juga datang darimu, di sela kejenuhanmu menunggu selama Aku merantau di ibukota. Engkau mengisi acara di televisi lokal.
Bukan sebagaimana Hana Hanifah yang tenar sebagai artis sinetron dan pemain FTV di televisi nasional, tetapi sebagai pengisi peran-peran kecil dalam tayangan drama di televisi lokal.
Engkau tidak segemerlap Vanessa Angel atau pesinetron papan atas lainnya. Meski demikian, keelokanmu tidak kalah dengan mereka. Tak pernah bosan-bosannya Aku memandangimu.
Rasa yang sama, tak pernah bosan-bosannya memandangimu, pastinya dialami penonton tayangan drama televisi lokal. Itu yang mengganggu pikiranku. Tapi kekhawatiran itu akan pudar, sebentar lagi Aku melamarmu menjadi pendamping hidup.
Penghasilan tetap dari pekerjaanku di ibukota pasti mencukupi. Engkau bisa berhenti menjadi artis drama di televisi lokal. Godaannya terlalu besar.
Lagipula, mana bisa Aku mengijinkan Engkau sebagai artis setelah menjadi istriku?
Becak yang kunaiki melintas di depan tikungan. Tidak ada yang berubah dengan rumahmu, kecuali pagar besi baru bercat abu-abu dan halaman yang lebih rapi.