Perjalanan melelahkan terbalas dengan udara pesisir yang semilir menerpa wajah. Tubuh penat terasa sejuk disiram hembusan angin terbelah tubuh becak yang kunaiki.
Pikiranku melayang layaknya layang-layang mengambang di angkasa. Menderu-deru sangar, dengung berasal dari bilah rotan tipis dibentangkan di atas layangan raksasa. Tradisi yang tidak berubah.
Namun sebaliknya, terlihat perubahan-perubahan di kota kecil ini.
Dulu, di sepanjang jalan berdiri bangunan klasik yang unik, sekarang menjadi rumah-rumah minimalis bergaya rigid. Tumbuh pula pusat perbelanjaan dan gedung-gedung menjulang ke langit. Bahkan tampak menara stasiun televisi lokal.
Tadinya jalan ini bergelombang-gelombang dilapisi bebatuan kapur tumbuk, kini berpunggung licin diaspal hotmix. Mulus, halus dilalui kendaraan yang terburu-buru.
Mobil-mobil membusungkan dada susul-menyusul memamerkan kecepatan. Berebutan dengan rombongan sepeda motor meraung-raung menyingkirkan pejalan kaki yang kehilangan trotoar.
Dinamika kota besar mengalir dengan pesat. Ciri kota besar menular cepat ke kota kecil ini. Betapa majunya kota ini. Betapa berubahnya wajah kota ini. Boleh jadi gaya hidup dan gaya pergaulan warganya berubah menyesuaikan diri dengan kemajuan.
Jauh sebelum itu, Aku meninggalkan kampung halaman untuk meningkatkan martabat di ibukota.
Sesungguhnya Aku punya cita-cita, ingin perubahan: menjadi orang bergaya metropolis bak kisah sinetron di televisi!
Ingin mengumpulkan uang untuk melamarmu: gadis cantik yang suka berpakaian putih bercelana jins biru.
Kita sudah menjalani hubungan sejak lama. Namun waktu itu pekerjaanku masih serabutan. Penghasilanku masih simpang-siur. Secara formal Aku masih menganggur. Tak akan akur menghidupi dirimu yang berparas rupawan dalam kegemerlapan.