Pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), dan telah masuk dalam Prolegnas RUU prioritas tahun 2020, akhirnya ditunda.
Berkenaan dengan itu, Presiden Jokowi menegaskan, bahwa pemerintah tidak ikut campur dalam pembahasan dan tidak pernah menerbitkan surat presiden (Surpres) kepada DPR untuk menyetujui legislasi RUU HIP.
"Ini (RUU HIP) 100 persen adalah inisiatif dari DPR, jadi pemerintah tidak ikut campur sama sekali," Â Jokowi menegaskan hal itu saat menjamu sejumlah purnawirawan TNI dan Polri di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (19/6/2020).
Dalam kesempatan berikutnya, Mahfud MD bersama pemangku kepentingan lain termasuk DPR telah menyepakati dua substansi yang menjadi kontroversi penyusunan RUU HIP. Dari 60 pasal dalam RUU HIP tersebut, salah satu pasal yang dinilai bermasalah adalah Pasal 7 yang memuat tentang trisila dan ekasila.Â
Selain itu, yang menjadi polemik dalam RUU ini adalah tidak dimasukannya TAP MPRS No XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran.
Beberapa tokoh menyatakan, bahwa Pancasila sudah memiliki kedudukan dan fungsi kuat sebagai dasar negara serta bersifat final.
Bagaimanapun substansi tersebut terlanjur menimbulkan kegaduhan di berbagai lapisan masyarakat, dari: akademisi, tokoh politik, kelompok keagamaan dan civil society lainnya. Bahkan di beberapa daerah memunculkan demonstrasi: Jakarta, Solo, dan Jember.
Mengamati kegaduhan yang mengitari pembahasan RUU HIP patut diduga, bahwa komunikasi politik untuk menyerap aspirasi publik tidak dilakukan sepenuhnya oleh anggota DPR pengusung RUU HIP.
Ulasan di bawah ini bukan menyoal substansi yang diperdebatkan, tapi mengenai proses komunikasi politik DPR RI kepada rakyatnya, atau setidaknya konstituennya, dan tokoh-tokoh dalam civil society yang patut "didengar" pendapatnya.
Kelembagaan DPR
Dikutip dari laman dpr.go.id, tugas dan wewenang DPR, antara lain: menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat, jelas menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat.
Dalam sumpah pelantikannya, anggota DPR berkomitmen untuk: memenuhi kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.Â
Dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan golongan, tetapi memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilI.
Sehingga secara institusional, anggota DPR tunduk pada peraturan berdasar Pancasila dan UUD 1945, meminggirkan kepentingan pribadi dan golongan (baca: parpol) demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Dalam posisi ini partai politik seyogyanya tidak dapat mempengaruhi keputusan politik yang berlawanan dengan kepentingan rakyat.
Posisi parpol dapat diterangkan dengan konstruksi teoritis di bawah ini.
Konstruksi Teoritis
Secara teoritis, para wakil rakyat telah mengalami proses perekrutan secara politis melalui jalur partai politik. Partai politik yang kemudian "mengajarkan" tentang: sosialisasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan atau komunikasi politik secara keseluruhan.
Melalui parpol inilah politisi melakukan komunikasi politik, mengartikulasikan dan mengagresi kepentingan publik. Atas dasar aspirasi kepentingan itulah mereka membangun gagasan-gagasan yang akan dimasukkan ke dalam agenda kebijakan publik.
Kumpulan gagasan dikerucutkan yang kemudian diperjuangkan oleh politisi yang telah disaring dari proses rekrutmen politik untuk menduduki kursi DPR.
Pranata politik seperti dewan legislatif lahir dari mereka yang dipercaya mewakili kepentingan masyarakat pemilih (konstituen). Relasi politisi anggota legislatif dengan masyarakat pendukungnya mestinya terekat erat, dan sangat bersifat instrumental, ketika mereka melakukan kampanye yang menyampaikan oral janji politik.
Kepercayaan masyarakatlah yang menempatkan mereka menduduki kursi nyaman di Senayan. Masyarakat memercayai para politisi akan mengartikulasikan kepentingannya dalam agenda kebijakan publik.
Dan komunikasi politik itu yang seharusnya selalu terjalin setelah para politisi menduduki jabatan sebagai wakil rakyat yang terhormat. Karena landasan perolehan kekuasaan parlemen bertumpu pada rakyat pemilih.
Konklusi
Polemik di sekitar pembahasan RUU HIP terjadi akibat kurangnya sosialisasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan publik (misalnya, apa yang lebih penting/urgent dibanding RUU HIP) sebelum merumuskannya, apalagi menimbang kegentingan menghadapi pandemi.
Jadi dengan kata lain, kegaduhan pembahasan RUU HIP merupakan potret lemahnya komunikasi politik yang dilakukan anggota DPR pengusul RUU HIP kepada publik.
Jangan sampai, partisipasi politik masyarakat pendukung diartikan sebagai lebih "mendudukkan" wakil-wakil rakyat ketimbang "partisipasi aktif" dan "langsung" dalam proses perancangan Undang-undang. Dalam masa mendatang ada baiknya fungsi dan wewenang DPR secara kelembagaan dan teoritis dapat dilaksanakan agar produk yang dihasilkan tidak menimbulkan kontroversi atau kegaduhan di masyarakat.
Ulasan di atas semata-mata dikonstruksi berdasarkan pendekatan institusional dan penerapan komunikasi politik, dengan mengabaikan faktor-faktor lain yang melatarbelakangi lahirnya RUU HIP.
Sumber bacaan:
- kompas.com (1,2,3);
- bbc.com;
- Muhtar Haboddin & Muh Arjul "PENGANTAR ILMU POLITIK" Universitas Brawijaya Press (UB Press) 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H