Barangkali karena harga pangan lokal yang relatif kurang kompetitif (harga tepung terigu 8.000 - 9.000 per kilo, sedangkan tepung aci 11.000 per-kilogram, bahkan tepung mocaf sekitar 21.000).
Atau, apakah para pemangku kebijakan lebih suka mengambil opsi mengimpor bahan pangan dibanding menginisiasi penggunaan bahan pangan lokal? Bisa jadi, diversifikasi olahan pangan berbasis tepung lokal gagal dikembangkan oleh para pemangku kepentingan.
Buktinya, mie glosor --sepanjang pengetahuan saya-- hanya beredar di sekitar Sukabumi dan Bogor, tidak meluas ke seluruh bagian wajah Indonesia.
Eh.. jadi ngelantur, maaf.
![dokumen pribadi: mie glosor dan bumbu kacang](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/04/26/img20200425175407-5ea5352c097f3672523ffe82.jpg?t=o&v=555)
Pantas saja mie glosor merupakan penganan favorit yang diburu oleh pecinta kuliner Bogor dan sekitarnya sebagai tajil.
Kendati sehari-hari bahan mentahnya tersedia di pasaran, sayangnya mie glosor hanya populer selama bulan Ramadan dan terbatas di daerah tertentu saja.
Ia mengglosor alias meluncur lalu tenggelam begitu saja diterpa keperkasaan mie berbasis terigu yang berasal dari olahan gandum impor.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI