Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pintu Aluminum Expanda

24 April 2020   20:08 Diperbarui: 24 April 2020   20:17 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paling tidak tiga kali sehari, Rudolfo dengan sangat terpaksa mendengarkan kecerewetan yang luar biasa berisik darinya.

Jika boleh meneropong menggunakan teknik regresi kehidupan masa lampau, barangkali Rudolfo bisa menyimpulkan, bahwa jiwanya adalah pengejawantahan dari jiwa neneknya yang telah berpulang terlebih dahulu, mewariskan kecerewetan minta ampun berisiknya.

Bisa jadi memang kecerewetan itu secara genetik merupakan pembawaan alamiah mereka sekeluarga, dari neneknya yang sudah tiada, ayahnya yang entah kemana, dan ibunya yang amat rewel.

Rudolfo ingat persis, bagaimana kecerewetannya, yang dengan suara melengking memelas minta makan.

Untungnya kecerewetan itu tidak berlangsung seterusnya, sang ibu pergi menghilang begitu saja meninggalkan anak semata wayangnya sendiri.

Anggota keluarga yang ditinggalkan itu menggemaskan dan cukup lucu. Namun kecerewetan kecil terus-menerus keluar meski badannya kian bertambah besar.

Kecerewetan minta makan semakin kencang seiring dengan kebutuhan makannya yang semakin besar pula.

Ia sudah tidak menggemaskan dan cukup lucu lagi. Ia sudah merepotkan dengan kecerewetan yang menggangu ketenangan hidup Rudolfo.

Untuk itu, pergerakannya keluar masuk rumah harus dibatasi, dan Rudolfo berpikir untuk mulai mengurangi interaksi dengannya.

Kemudian itulah yang menjadi tujuan utama Rudolfo memasang pintu pembatas pada akses keluar rumah dan menuju halaman samping.

Pintu jenis ini adalah sejenis pintu berkawat nyamuk dengan kasa dan kerangka berbahan aluminium, yang selain berfungsi menahan nyamuk agar tidak masuk juga mampu mengalirkan hawa sejuk ke dalam rumah.

Toh di samping rumah ada paviliun kosong yang bisa digunakan untuk tempat ia tinggal.

Sudah waktunya hidup terpisah, walaupun --mau tidak mau-- Rudolfo memasok makanan sementara ia belum bisa mandiri sepenuhnya.

Rumah berhalaman besar itu sudah lama ditinggalkan suara anak-anak dan lengkingan istrinya sejak sepuluhan tahun lalu.

Yaitu sejak Rudolfo demikian emosional menghadapi tekanan-tekanan pekerjaan yang dibawanya pulang ke rumah. Hati panas disiram bahan bakar lengkingan istrinya menyebabkan bara berkobar meluluh-lantakkan bangunan rumah tangga Rudolfo.

Istrinya pergi selamanya dengan membawa anak-anaknya, tanpa kabar pula.

Tapi sudahlah! Rudolfo menikmati masa-masa seperti sekarang ini.

Rudolfo mengurus rumah itu sendiri, mencuci baju sendiri, belanja ke tukang sayur sebagai laki-laki sendirian di antara ibu-ibu yang tertawa cekikikan menggoda.

Ia memang tak ingin ada asisten yang membantu merapikan rumah, mencuci dan memasak untuk dirinya. Rudolfo tidak mau itu, ia bisa mengurus dirinya sendiri.

Kendati ditambah dengan mahluk super cerewet itu sekalipun, Rudolfo tidak merasa terlalu berat.

Setelah Rudolfo selesai makan, ia akan diberi makan walau selama itu kecerewetannya dari balik pintu aluminium expanda memusingkan kepala.

Malam itu Rudolfo menikmati hidangan, yang notabene masakannya sendiri, berupa sup kuah asam ikan, tempe goreng berselimut tepung, tumis bunga pepaya campur teri Medan dan sambal dadak dari cabai rawit merah digerus garam lalu dikucuri jeruk limau.

Hidangan sederhana yang sangat dihayati oleh Rudolfo dengan menutulkan daging ikan ke sambal di cobek dan menyesap kepala ikan yang terasa asam, gurih, manis, segar di lidah.

Dengan adanya pembatas berupa pintu aluminium expanda keasyikan Rodolfo tidak bakal tercerai berai, walaupun terganggu oleh suara kecerewetan yang menjengkelkan.

Seusai menuntaskan makan malamnya, Rudolfo menyiapkan sepiring nasi, sedikit kuah dan sepotong ikan. Semua bahan diaduk rata, Rudolfo tidak akan pernah menambahkan tempe apalagi sayuran.

Setelah itu dibawanya piring ke belakang, setelah pintu aluminium expanda dibuka.

Rudolfo segera menuju paviliun, meletakkan piring berisi adukan nasi, sedikit kuah, dan sepotong ikan di atas lantai teras.

Dengan lahap makanan itu dinikmati oleh mahluk berekor panjang dalam diam, tanpa kecerewetan. Rudolfo mengelus-elus bulunya yang halus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun