Toh di samping rumah ada paviliun kosong yang bisa digunakan untuk tempat ia tinggal.
Sudah waktunya hidup terpisah, walaupun --mau tidak mau-- Rudolfo memasok makanan sementara ia belum bisa mandiri sepenuhnya.
Rumah berhalaman besar itu sudah lama ditinggalkan suara anak-anak dan lengkingan istrinya sejak sepuluhan tahun lalu.
Yaitu sejak Rudolfo demikian emosional menghadapi tekanan-tekanan pekerjaan yang dibawanya pulang ke rumah. Hati panas disiram bahan bakar lengkingan istrinya menyebabkan bara berkobar meluluh-lantakkan bangunan rumah tangga Rudolfo.
Istrinya pergi selamanya dengan membawa anak-anaknya, tanpa kabar pula.
Tapi sudahlah! Rudolfo menikmati masa-masa seperti sekarang ini.
Rudolfo mengurus rumah itu sendiri, mencuci baju sendiri, belanja ke tukang sayur sebagai laki-laki sendirian di antara ibu-ibu yang tertawa cekikikan menggoda.
Ia memang tak ingin ada asisten yang membantu merapikan rumah, mencuci dan memasak untuk dirinya. Rudolfo tidak mau itu, ia bisa mengurus dirinya sendiri.
Kendati ditambah dengan mahluk super cerewet itu sekalipun, Rudolfo tidak merasa terlalu berat.
Setelah Rudolfo selesai makan, ia akan diberi makan walau selama itu kecerewetannya dari balik pintu aluminium expanda memusingkan kepala.
Malam itu Rudolfo menikmati hidangan, yang notabene masakannya sendiri, berupa sup kuah asam ikan, tempe goreng berselimut tepung, tumis bunga pepaya campur teri Medan dan sambal dadak dari cabai rawit merah digerus garam lalu dikucuri jeruk limau.