Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengajarkan Kebebasan Berpikir kepada Anak

14 April 2020   07:07 Diperbarui: 14 April 2020   07:34 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Daniela Dimitrova dari pixabay.com

Empat pokok gebrakan merdeka belajar Kemendikbud, yaitu: 1) Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang menggantikan Ujian Nasional; 2) Keleluasaan sekolah untuk menentukan Ujian Sekolah Berstandar Nasional; 3) Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran; 4) Penerimaan Peserta Didik Baru yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah, seperti dijelaskan oleh Nadiem Makarim pada acara Rapat Koordinasi Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jakarta 11 Desember 2019 (sumber).

Gebrakan merdeka belajar menyiratkan penilaian: Literasi, yang bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga analisis dan pemahaman konsep; Numerasi, bukan hanya kemampuan matematis, tetapi penerapannya dalam kehidupan nyata; dan Survei Karakter, yakni sejauh mana penerapan azas-azas Pancasila oleh siswa (sumber).

Jauh sebelum gebrakan tersebut, saya pernah mengajarkan kebebasan berpikir (bukan merdeka belajar) kepada anak saya, sebagai berikut:

Dua hal yang saya ingat tentang mendampingi anak ketika belajar, dalam mengerjakan tugas sekolah atau menyelesaikan pekerjaan rumah (PR):

Saat ia masih kelas dua atau tiga SD, ada PR tentang mewarnai gambar rumah, pohon dan tumbuhan. Seperti biasa ia asyik mewarnai menurut kaidah umum: langit biru, awan putih, kusen coklat, dan seterusnya. Sampai ketika hendak mewarnai pohon dan tanaman ia bertanya, "apakah daun mesti berwarna hijau?"

Saya membebaskannya untuk mengekspresikan alam pikir yang masih murni.

Dengan itu anak saya pun mewarnai dedaunan dengan warna coklat, hitam, biru, dan tentunya hijau.

Keesokan harinya, anak saya pulang sekolah dengan wajah cemberut, "gambarnya dapat nilai lima, kata guru daun harus seragam berwarna hijau".

Untuk membesarkan hatinya, saya menerangkan, "sebaiknya dimaklumi, bahwa guru di sekolah taat azas kepada arahan kurikulum. Sementara di kehidupan, manusia dikaruniai kebebasan untuk berekspresi dan berpikir".

Esoknya saya membelikannya buku bergambar baru agar dapat diwarnai sebebas-bebasnya, dengan penilaian (penghargaan) setinggi-tingginya atas hasil karyanya. Betapa senangnya ia mewarnai. Betapa girangnya ketika saya memberinya nilai 10.

Secara tidak langsung, saya mengajarkan kebebasan berpikir sesuai kehendaknya tanpa melarang atau mengharuskannya dan memaksakan bahwa suatu ihwal harus diyakini sesuai apa yang disampaikan.

Karena terikat kurikulum (waktu itu), maka guru akan --dan harus-- menyatakan "daun berwarna hijau". Sedangkan realitasnya, warna daun bisa bermacam-macam tergantung sudut pandang: hijau, kekuningan atau coklat ketika mengering, kehitaman ketika cahaya redup, keperakan seperti daun pisang diterpa sinar rembulan pada malam meremang, pink seperti daun muda pohon kepel setelah daun hijaunya gugur, dan sebagainya.

Kelak dalam perjalanan hidupnya, kebebasan berpikir akan membawanya kepada kebebasan berekspresi dalam komunikasi, informasi yang disampaikan, dan pengaruh terhadap lingkungannya.

Peristiwa kedua, anak saya sedang kerepotan menghafal perkalian. Metode yang diajarkan adalah dengan cara menghafal, 11=1; 12=2; 22=4; 23=6; dan seterusnya.

Saya menawarkan tabel Pitagoras sebagai alternatif untuk menghafal perkalian, seperti ilustrasi di bawah ini:

dokumen pribadi
dokumen pribadi
Dengan tabel tersebut, anak saya lebih mudah dan cepat menghafal perkalian. Visualisasi tabel Pitagoras sangat memudahkan penggunaannya, yakni: untuk mendapatkan hasil perkalian hanya dengan memperhatikan pertemuan angka pada kolom dan angka pada baris.

Tabel Pitagoras itu akhirnya diperbanyak oleh gurunya.

Filosofi dari dua hal di atas adalah, bahwa kebebasan berpikir dan berekspresi serta tentang pentingnya hasil dibanding cara, membawa anak saya kepada pemahaman baru: "Sekolah mengajarkan cara dan prosedur penyelesaian masalah. Sedangkan hidup membutuhkan pencapaian hasil bagaimanapun caranya (committed to get result whatever it takes)"

Pemahaman tersebut mendorong anak saya mendaftarkan diri pada salah satu SMP Negeri terbaik. Setelah selesai dari SMP itu ia mendaftarkan diri sendiri di SMA Negeri favorit, dan kemudian pada akhir periode sekolah, ia masuk universitas negeri terkemuka dengan undangan tanpa tes.

Saat ini anak saya sedang menjalani kebebasan pilihannya dengan berprofesi sebagai pengacara di Jakarta.

Apakah "the result" semacam itu yang hendak dicapai dengan konsep merdeka belajar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun