Berita baiknya, tidak sampai matahari tenggelam Nita telah pulang ke rumah. Sehari-hari Niko membereskan rumah, memasak sebisanya dan menghabiskan sebagian besar waktu dengan para pengangguran di pos ronda depan gang, membualkan khayalan hampa.
Belakangan Nita lebih sibuk. Ia kerap pulang setelah Isya, bahkan beberapa kali tiba di rumah hingga tengah malam.
"Banyak pekerjaan! Lembur hingga toko tutup jam sepuluh", jawab Nita singkat menepis interogasi Niko, yang lantas terpaku senyap menatap istri yang sangat dikasihinya membersihkan muka.
Akhir-akhir ini Niko berprasangka, merasa istrinya berdandan berlebihan dan wangi teramat menyengat, tubuh mulusnya disiram parfum lebih banyak daripada sebelumnya.
Untuk kesekian kalinya, Niko bertanya, "pulang jam berapa hari ini? Aku akan menunggumu untuk makan malam".
"Makan saja duluan, aku tidak pernah tahu pulang jam berapa", jawab Nita, singkat. Maskulinitas Niko memudar.
Malam itu Niko sulit memicingkan mata. Seperti malam-malam sebelumnya, benaknya berkecamuk memikirkan ketidak-perkasaannya menghadapi kenyataan istrinya terpaksa menjadi tulang punggung keluarga.
Dipandangnya Nita yang tubuh eloknya masih menghamburkan harum dan pulas segera setelah membersihkan muka, memunggungi.
Lamat-lamat dilihatnya bibir mungil yang menyunggingkan senyum diantara lelah yang lelap, dan mengigau. Â Niko mendekatkan telinga, menyimak seksama.
"Benarkah? Ya! Tidak salah lagi", batinnya. Niko samar-samar mendengar Nita membisikkan nama seseorang.
Senyum itu masih mengambang, kedamaian memancar. Suara-suara ceracau telah hening.