Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Matahari Seperempat

9 Maret 2020   07:09 Diperbarui: 9 Maret 2020   07:57 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepasang bola mata bening memancarkan rasa terimakasih yang tidak bisa dilukiskan.

Di sisinya, wanita kusam menghias wajahnya, yang dijatuhi rambut kusut masai keperakan, dengan senyum.

Pakaian yang dikenakan sepertinya telah melekat berhari-hari pada tubuh-tubuh kurus itu. Longgar dan pudar sering terpapar sinar sang surya.

Aku menghirup strawberry mojito di hadapanku segera setelah menandaskan seporsi tuna spaghetti. Sementara seorang lelaki memandang lekat sambil mencecap bibir cangkir kopi hitam kesukaannya.

"Sesuatu yang anehkah?".

"Kamu kian lama kian sedap dipandang. Aku tak akan bosan menjelajahi keindahanmu", kilat mata elang itu mengobarkan darah menjalar menghangatkan wajah dan, tentu saja, hatiku.

Mengapa juga aku mesti jatuh cinta kepada lelaki matang itu, yang membuatku terperangkap dalam pesonanya?

Barangkali karena perhatiannya yang amat memenjara. Bisa jadi oleh tampilannya yang memang dari sananya keren.

Tentang pemenuhan materi, aku tak pernah mengkhawatirkannya. Selain dari penghasilanku sendiri, lelaki metropolis mapan tersebut senantiasa memanjakanku dengan uang lebih dari cukup

Terus terang, aku jatuh hati dari pertama mengenalnya. Tutur bahasanya santun, terpelajar dan tahu persis bagaimana cara memanjakan wanita, mendayu tanpa nada merayu, apalagi berbuih-buih bak pembuat puisi.

Dulu, aku pernah mengenal seorang pria sebagai pujangga, mahir menata kata-kata yang mampu membuatku terperdaya. Kemudian aku mengerti, ia masih pontang-panting menata hidupnya sendiri.

Berbeda dengan lelaki pujaanku, aku ingin selalu menenggelamkan diri pada dada bidangnya. Kenyamanan dan keamanan melenakan ketika berada didekapannya.

Lebih dari sekedar materi, yang sulit aku ceritakan kepada sesiapa.

Ekor mataku melompat menembus jendela kaca. Seorang pria merenggut kasar seorang anak perempuan dari pelukan wanita kusam yang bersusah-payah mempertahankannya. Nampak amat lemah menandingi pria berangasan.

Tidak terdengar apa yang diperdebatkan mereka, tetapi sebuah naluri mendorongku berjalan keluar dan menyambangi kebrutalan tersebut.

Bayangan kelam masa silam menghantui.

Aku tidak bisa melupakan seorang pria biasa, yang mengaku sebagai suami ibuku, namun bejatnya telah merampas beliaku. Berkali-kali ia mengoyak-moyak harga diriku.

Bertahun-tahun menderita dalam ancamannya dan pada saat ini, aku tidak ingin  anak perempuan itu mengalaminya.

Aku datang tepat pada saat tangan legam penuh tato berhasil merebut anak perempuan yang sedang menangis dari genggaman tangan keriput wanita ringkih itu.

"Lepaskan...!

"Siapa kau?", suara serak meluncur melalui gerigi kuning pria bermuka parut. Berandalan berwajah masam itu tetap merampas dan menyeret anak perempuan yang menangis meminta pertolongan kepada wanita yang sudah tidak  punya daya.

Aku menghentikan langkah pria itu, dengan menghentakkan tangannya. Tarik menarik tidak seimbang, sampai ketika lelaki pujaanku menghajar hidung pria itu sehingga tersungkur di atas trotoar. Lepas pula cengkeramannya pada anak perempuan yang kemudian kuraih dan kupeluk erat.

Preman itu bangkit lalu lari terbirit-birit sambil mengacungkan jari tengahnya melihat lawannya, lelaki pujaanku, yang perkasa.

Setelah mengembalikan anak perempuan kepada wanita lusuh itu aku kembali ke meja. Nafasku masih memburu. Lelaki pujaanku menyelipkan segelas air mineral diantara kedua bibirku, satu tangan yang lain menyentuh mesra daguku. Wajahnya yang tampan menyiratkan kekhawatiran.

Matahari tinggal seperempat, perlahan ditelan malam. Waktunya untuk beranjak, ketika sebuah suara berwibawa dengan lembut berbisik,

"Malam ini dan dua hari berikutnya, aku tidur di apartemenmu. Bolehkah sayang?".

Seketika, beribu-ribu pelangi menyesaki kepala. Aku terperangah tak memercayai pendengaranku.

"Ya, tiga hari kedepan istri dan anak-anakku ke luar kota. Pulang kampung".

Simpulan lelaki pujaanku kala matahari tinggal seperempat itu menyingkirkan tanya, berganti dengan bunga-bunga bersemi menjejali rongga dada.

Perasaanku melayang, menerbangkan khayal ke angkasa cerah sampai ketika bersitatap dengan sepasang bola mata bening memancarkan rasa terimakasih yang tidak bisa dilukiskan.

Anak perempuan dan wanita kusam itu masih ada di trotoar depan cafe. Aku dengan tulus menghadiahkan senyum dan mengangsurkan sejumlah uang.

Matahari seperempat tenggelam. Sinarnya telah padam, digantikan temaram di atas trotoar muram.

Wanita kusam dan anak perempuan itu bangkit, berjalan menyusuri bayang menuju ke sebuah koloni kumuh.

Wanita kusam berjalan terseok-seok sambil meliarkan pikiran, "Hari ini sudah cukup. Lebih dari cukup untuk memenuhi setoran dan membayar harga sewa anak perempuan ini".

~~Selesai~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun