Preman itu bangkit lalu lari terbirit-birit sambil mengacungkan jari tengahnya melihat lawannya, lelaki pujaanku, yang perkasa.
Setelah mengembalikan anak perempuan kepada wanita lusuh itu aku kembali ke meja. Nafasku masih memburu. Lelaki pujaanku menyelipkan segelas air mineral diantara kedua bibirku, satu tangan yang lain menyentuh mesra daguku. Wajahnya yang tampan menyiratkan kekhawatiran.
Matahari tinggal seperempat, perlahan ditelan malam. Waktunya untuk beranjak, ketika sebuah suara berwibawa dengan lembut berbisik,
"Malam ini dan dua hari berikutnya, aku tidur di apartemenmu. Bolehkah sayang?".
Seketika, beribu-ribu pelangi menyesaki kepala. Aku terperangah tak memercayai pendengaranku.
"Ya, tiga hari kedepan istri dan anak-anakku ke luar kota. Pulang kampung".
Simpulan lelaki pujaanku kala matahari tinggal seperempat itu menyingkirkan tanya, berganti dengan bunga-bunga bersemi menjejali rongga dada.
Perasaanku melayang, menerbangkan khayal ke angkasa cerah sampai ketika bersitatap dengan sepasang bola mata bening memancarkan rasa terimakasih yang tidak bisa dilukiskan.
Anak perempuan dan wanita kusam itu masih ada di trotoar depan cafe. Aku dengan tulus menghadiahkan senyum dan mengangsurkan sejumlah uang.
Matahari seperempat tenggelam. Sinarnya telah padam, digantikan temaram di atas trotoar muram.
Wanita kusam dan anak perempuan itu bangkit, berjalan menyusuri bayang menuju ke sebuah koloni kumuh.