Insiden kecil itu agak mengganggu. Namun, kemudian aku kembali memandang wajah berbinar diterpa sinar matahari sore dan memeluknya hangat.
Sesekali kepalanya bersandar di dadaku, saat ia tertawa kecil melihat aksi lucu peserta pawai.
Kukecup rambutnya, terhirup aroma melati. Pelukanku semakin erat sampai dengan seluruh rangkaian acara tersebut berakhir.
Kegembiraannya tiada habis kendati telah tiba di tempat kos, ia terus bercerita tentang pengalaman indrawinya, tentang gelegar aksi peserta dan tentang kemeriahan yang baru pertama kali disaksikannya.
Euis bertutur gegap gempita, ketika sebuah kecupan manis pada keningnya menghentikan semua cerita. Mata sayu itu memandangku. Kucium pipi kiri yang merona merah.
Kucium pipi kanan, kudengar alunan nafas lembut. Bibirnya  merekah basah. Wajahnya seperti semangkuk buah melon kupas baru dikeluarkan dari kulkas, segar, mengundang rasa untuk segera memakannya.
Mendadak sebuah kesadaran meluluh-lantakkan angan dalam sampan khayal.
"Euis, aku harus kembali ke tempat tadi!", mata sayu itu terbeliak melihatku melompat lesat keluar kamar meninggalkan tanya besar.
Kesetanan, kupacu sepeda-motor yang berteriak-teriak kucambuk sepanjang perjalanan diantara makian penyesalanku.
Tadi, jam 3 sore halte itu adalah tempat paling romantis di tengah keramaian, sekarang menjadi ruang sepi. Aku segera menerkamnya, melongok ke dalam tempat sampah yang telah kosong. Seluruh persendianku lepas, tulang-belulang lemas.
Panik, kutanya pria berseragam kuning tentang sebungkus rokok dalam tempat sampah. Mukanya tercengang, ludahnya tertelan, lalu melengos melanjutkan pekerjaan menyapu jalan.