Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Cerita untuk Anak] Rizky Mimisan

18 Januari 2020   07:30 Diperbarui: 18 Januari 2020   08:43 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berkali-kali Nenek berkata, "Le)4...khan sudah Nenek bilang, jangan main tanah dan panas-panasan terlalu lama. Beginilah akibatnya kalau tidak mau mendengar kata orang tua". Rizky berharap dukungan dari Ibunya, tetapi Ia diam saja sambil memeras kain kompresan.

Untuk urusan nasehat-menasehati, Neneknya sangat banyak mengumbar kata-kata "Jangan", seperti:

"Le... jangan duduk di depan pintu, ora ilok)5!" Ayahnya tertawa mendengarnya.

"Jangan terlalu banyak tertawa, nanti akan ada kepedihan mendera!" mulut Ayah terkatup, giliran Rizky terkekeh.

"Kalau makan harus habis, jangan bersisa nasi sebutirpun! Kasihan, nanti petani menangis. Mereka telah bersusah payah menanam padi".

Dan masih banyak lagi ujaran nenek yang tidak semua Rizky ingat.

Mimisan berkurang. Gulungan daun sirih diganti baru. Ibu membersihkan gumpalan-gumpalan merah kehitaman dari hidung anak lelaki kecilnya. Agak lega nafasnya.

Tetapi badannya bertambah panas. Kepala Rizky masih berputar-putar, pusing tujuh keliling.

Makanan tak ada yang enak rasanya. Setelah tidak menghabiskan bubur yang disuapkan ibunya, Rizky minum cairan penurun panas, yang terasa agak manis meski getir.

Yu Anti sudah berselimut mimpi. Ibu dan Nenek kian cemas mengetahui suhu badan Rizky tidak kunjung menurun, malah semakin larut semakin meninggi.

Wajah kedua wanita beranak-pinak itu mendung. Bola-bola mata keruh susah payah menyangga beban berat gelembung-gelembung awan yang sebentar lagi tumpah ruah.

Pusing tujuh keliling di kepala Rizky berangsur-angsur mereda, berganti dengan perasaan ringan, sangat ringan, bahkan bisa melayang dari atas tempat tidur.

Kamar berukuran 3 4 meter itu tampak memuai lalu membesar, seiring dengan menyusutnya tempat tidur. Dirasakannya sebagai berada di awang-awang. Dua wanita yang dicintainya kelihatan menyusut, kecil-kecil, lalu merupa titik-titik gelap. Rizky melayang-layang ringan.

Sayup-sayup kabut membalut, mengelilingi sosok renta yang tersenyum. Kakek? Kakeknya sedang menghisap klobot, seperti kebiasan yang Rizky ingat, menunggunya pada ujung lorong serba putih, tetapi tidak begitu putih, seperti kapas. Udara dirasakannya dingin, tapi tidak begitu dingin, sebagaimana dinginnya penghujan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun