Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

OTT Perdana KPK dan Raja Kecil di Daerah

8 Januari 2020   09:33 Diperbarui: 21 Januari 2020   12:07 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah saat mengunjungi rumah produksi tahu di sentra industri Desa Tropodo, Kecamatan Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (26/11/2019) [KOMPAS.COM/GHINAN SALMAN]

Diawal tahun 2020 KPK pimpinan Firli Bahuri melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) perdana tak lama setelah dilantik pada Desember 2019.

Plt. juru bicara KPK, Ali Fikri, menyebut OTT ini berkaitan dengan proyek pengadaan barang dan jasa atau proyek. OTT pada hari Selasa (7/1/2020) itu mencokok seorang kepala daerah Kabupaten Sidoarjo dan beberapa orang lainnya.

Terinformasi, bahwa selama bulan Januari - Oktober 2019 KPK melakukan 20 kali OTT, diantaranya terdapat tujuh orang kepala daerah  ditangkap. Bahkan saat menorehkan rekor OTT terbanyak selama tahun 2018, KPK menciduk 21 kepala daerah dari 29 orang yang melakukan korupsi.

Setiap tahun ada saja kepala daerah tersangkut kasus korupsi, belum terhitung mereka yang "beruntung" tidak terjaring OTT.

Masih banyak kepala daerah diduga melakukan tindak kejahatan korupsi tetapi sulit pembuktiannya.

Para kepala daerah demikian berkuasa dalam penerapan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). Sudah menjadi rahasia umum, kekuasaan itu memberikan ruang bagi kepala daerah dan pihak terkait untuk menjadikan APBD sebagai "bancaan" proyek.

Kekuasaan di daerah terbentuk melalui otonomi daerah, dimana pemerintah pusat mendelegasikan sebagian kewenangannya untuk dikelola oleh pemerintah daerah.

Pembentukan otonomi daerah dimungkinkan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 18 Ayat 1 - 7, Pasal 18A ayat 1 dan 2, Pasal 18B ayat 1 dan 2.

Ketetapan MPR RI menjadi dasar hukum pembentukannya, yaitu: Tap. Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI dan Tap. Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Kemudian diikuti oleh Undang-undang, seperti: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah juncto UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Revisi UU No.32 Tahun 2004).

Salah satu alasan terbentuknya otonomi, dengan desentralisasi akan memeratakan pembangunan ekonomi yang selama itu dikendalikan oleh pusat. Pemicu lain adalah dinamika faktor global, dimana menyeruak kehendak pemilik modal asing untuk meningkatkan investasi di Indonesia.

Dengan otonomi, maka pelayanan hukum (dalam hal ini tetap tunduk dan mengacu kepada UU pusat) dan publik bisa makin merata., serta pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara mandiri.

Lebih dari dua dekade otonomi daerah dilaksanakan, sehingga terdapat lebih dari 500 pemerintah daerah berupa provinsi, kabupaten, dan kota. Dan selama itu telah menjadikan kepala daerah sebagai "raja-raja kecil" di daerah.

Raja kecil itupun menggunakan kekuasaannya, dan pengelolaan atas keuangan, untuk memajukan daerah masing-masing. Tetapi tidak sedikit yang melihat celah-celah penyalahgunaan APBD, baik secara "kasar" maupun "halus".

Korupsi kepala daerah secara "kasar" dilakukan dengan cara-cara yang mudah dideteksi dan dibuktikan oleh KPK atau lembaga hukum lainnya (seperti Tipikor). Hal inilah yang membuat OTT kerap terjadi.

Sedangkan korupsi "halus" dilakukan oleh kepala daerah dengan instruksi tersirat, bukan tersurat.

Korupsi tersurat seperti dilakukan aparat pemerintah suatu kabupaten berlokasi dekat Jakarta yang mencatat "setoran" atau suap proyek di data komputer, beberapa tahun lalu, sehingga menjadi alat bukti kuat suatu tindakan penyuapan. 

Suap proyek tersebut bernilai puluhan miliar dan menyangkut 200-an orang pemborong atau kontraktor di Tipikor Jawa Barat.

Oleh karenanya, dalam berkomunikasi mereka lebih suka menggunakan bahasa lisan daripada tertulis. Lebih suka menggunakan telepon seluler jadul daripada gawai Android yang mudah disadap. Saya pernah membelikan seorang pejabat daerah sebuah telpon genggam kecil model lama agar tidak bisa disadap.

Dan bahasa berkode-kode serta cara-cara lainnya yang diperkirakan tidak kentara di pandangan orang lainnya. Demikian agar kelak tidak bisa menjadi alat bukti bagi aparat penegak hukum anti rasuah. Ini yang sangat mengkhawatirkan.

Dihitung dari ringkasan APBD seluruh daerah di Indonesia pada tahun 2017, terdapat realisasi belanja modal (pengadaan barang dan jasa atau proyek) senilai Rp. 222,098 triliun. 

Dari jumlah itu diperkirakan terjadi potensi kebocoran anggaran akibat korupsi "kasar" maupun "halus" senilai Rp. 15,55 triliun per-tahun. (selengkapnya dapat dibaca disini).

Jumlah yang sangat merangsang bagi orang-orang untuk memerebutkan tampuk kekuasaan di daerah-daerah. Sudah seharusnya warga masing-masing daerah memilih person atau tokoh yang diyakini memiliki kredibilitas untuk melayani. Bukan mereka yang berambisi menjadi "raja kecil" yang menggerogoti APBD.

Sumber bacaan: 1, 2, 3 dan 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun